Tiga

6 3 0
                                    

Manungsa mung ngunduh wohing pakarti;
(Di dalam kehidupan, manusia itu sebenarnya
hanya akan memetik hasil atas apa yang ia
perbuat sendiri)

Sejak dahulu, tak ada pemimpin yang benar-benat adil dan mengayomi. Hal itu tentu saja selalu ada di dalam tatanan kesultanan. Tuntutan untuk menjadi pemimpin yang amanah membuat sebagian sultan atau raja menjadi tertekan dan malah bertingkah seolah lepas tangan. Bagi mereka, asal pihak kerajaan tidak dirugikan dan keluarga bangsawan masih dihormati, opini rakyat bukanlah harga mati.

Lantas apa yang yang membuat mereka disegani? Tak banyak yang bisa dikupas untuk lepas. Rakyat menderita karena beberapa cerita. Tak ada yang bisa memberontak di kerajaan jika masih ingin melihat sanak saudara memiliki kepala.

"Dia datang," bisik seseorang di sela tapa.

"Siapa?" Sang abdi bertanya. Sengaja tak berkata keras, takut menganggu konsentrasi sang tuan.

Dia menghela napas perlahan kemudian membuka mata. Seakan akan ada hal buruk genggamannya mengerat dan giginya bergemelatuk.

"Penghancur tatanan kesultanan."

"Kenapa baru berkata sekarang? Anda bisa langsung dihabisi pihak kerajaan sekarang juga!" Sang bawahan terkesiap. Tanpa sadar menjerit pelan karena terkejut.

"Berikan mereka pilihan. Membunuhku atau membiarkan tatanan kesultanan hancur tanpa bantuanku. Jika mereka masih waras, maka mereka akan menyelamatkanku.''

"Sendiko dawuh, ki."

Dan obor pun ia genggam supaya temaram. Tak banyak yang bisa kebenaran lakukan. Dalam semalam, kerajaan telah mengetahui jika sang penghancur datang. Seisi kerajaan kacau. Yang menyebarkan dielu-elukan, mereka memohon diselamatkan. Malam itu, Sri Sultan marah besar. Ia memerintahkan para prajurit untuk bersiap membakar seluruh desa. Benar saja, dalam sekejap semuanya terjadi.

Para kroco berbondong-bondong membawa obor. Tak perlu waktu lama untuk membakar gubuk para penduduk. Hal itu tentu saja sangat mudah untuk dilakukan. Karena begitu mendekatkan obor ke dinding yang masih terbuat dari kayu atau anyaman bambu itu, saat itulah rumah mereka perlahan terbakar. Tak ada jalan lain selain mengikuti perintah kesultanan. Hanya ada dua pilihan, mati atau menahan pilu karena membakar rumah sendiri.

XxxX

Rama berjalan dengan kaki terseok ke dalam Dwi Loka. Hanya hutan ini satu-satunya tempat melarikan diri dari orang suruhan Sri Sultan Janitra. Dia dan Abnar nyari saja bisa melarikan diri jika saja Rama tidak bodoh. Rama tak sengaja tersandung oleh balok kayu yang telah menjadi bara. Kakinya melepuh dan ia reflek mengerang sakit. Abnar yang telah tau jika Rama adalah anak ki Batara Bayuadji-berkat cerita yang Rama katakan-dengan lapang dada menggantikannya untuk tertangkap oleh kroco Janitra. Abnar menepuk pelan punggung Rama. Dia menyuruhnya pergi sembari menitipkan bandul kalung untuk anaknya.

Jaga-jaga jika saya tidak bisa memberikan kepada anak saya nanti. Saya percaya bahwa tuan bisa membantu saya dan menyelamatkan ayah tuan. Kata-katanya masih terngiang jelas walaupun Rama mendengarnya di sela kobaran api. Dengan mata kepalanya sendiri dia melihat Abnar di seret oleh beberapa kroco. Dia bisa melihat warga lain juga di seret. Entah mau dibawa ke mana. Yang jelas Rama harus menyelamatkan diri terlebih dahulu.

Rama jatuh terduduk. Dia oleng saking lemasnya. Dwi Loka malam itu terasa sangat gelap, langkahnya hanya diterangi cahaya bulan yang nampak samar. Rama harus membuka lebar matanya agar bisa melihat keadaan sekitar. Di masa seperti ini, kemungkinan akan datangnya mahluk halus sebangsa jin sangat memungkinkan. Daripada itu, dia lebih takut dengan hewan buas. Bagaimana juga Dwi Loka bukan hutan sembarangan. Beruntung Rama telah mengisi perut dan beristirahat sejenak. Dia menunduk lalu dengan bodohnya meraba bekas luka di kakinya. Tak lama dari itu Rama mendesis karena kesakitan. Rupanya lukanya masih teramat basah. Bagaimana pun juga, dia harus mengobati lukanya sebelum keadaannya semakin memburuk.

DETIKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang