Ketika takdir menuntutku untuk hidup di dunia berbeda. Aku nyaris kalah. Aku mengeluh sepanjang awal mula perjalananku. Aku hanya tak yakin dengan hidup baruku. Yang setiap hari membuat tidur malamku tak pernah nyenyak. Aku menggerutu sebanyak aku bisa, sampai lupa apa makna bersyukur. Untung aku tak sampai kufur. Di tengah perjalanan pun aku masih saja belum bisa menerima takdir ironiku. Aku masih belum mau bersyukur. Aku pikir, apa yang perlu ku syukuri untuk hidupku saat ini. Sementara ini bukan hidupku. Bukan gayaku. Aku selalu beranggapan kini aku hanya tengah berada dalam mimpi, atau tengah terhanyut dalam dunia dongeng yang tak pernah akan nyata. Aku selalu yakin bahwa ini bukan aku, bukan hidupku. Justru hidup milik orang lain. Aku tak yakin apa makna proses. Yang aku tau aku tak bersyukur dengan takdirku. Namun, justru sosok itu yang telah parah mengoyak hidup nyamanku, orang yang paling aku benci karena telah membuatku sepayah ini, yang ketika aku melihatnya ingin rasanya ku lempar batu pada wajahnya yang lugu. Ah, aku sangat membencinya. amat sangat membencinya. Namun, ya orang itu. Orang yang justru menjadi alasan aku mau bertahan hidup.
1 part