Pendekar Biru

1K 25 6
                                    

Masa gue SD dulu dikampung, boyband masih populer banget. Westlife, Backstreet Boys, A1, dan boyband lainnya. Kalau bandnya itu kayak Sheila on 7, Gigi, Kahitna, Dewa 19. Musisi jaman gue SD itu bisa dibilang yang paling digemari cewek. Bahkan, pemain keyboard untuk acara pesta ajah kalau manggung bisa ditarik-tarik celananya. Para fans akan merebus celana itu lalu meminum airnya. Dipercaya dapat mengatasi bisul pecah dan batu ginjal. Sebisa mungkin, musisi-musisi ini kalau kemana-mana pasti mengenakan celana dua. Satu kolor. Satunya lagi celana show. Iya, emang gituh semestinya.

Sanking menjanjikannya dulu kehidupan musisi, gue kecil berniat masuk panggung hiburan. Boyband adalah pilihan utama. Kalau album gue gak laku, minimal gue bisa cari job sampingan jual diri. Lagian boyband dalam otak gue cuma nyanyi-nyanyi ampe kerongkongan bernanah plus joget. Masalah joget, gue paling jago. Guru SD suka ngajarin gue joget pas pagi-pagi. Katanya biar sehat. Otot terawat. Eh? Tuh joget apa senam? Gak tau. Pokoknya gitulah.

Boyband beranggotakan minimal empat orang. Masing-masing mempunyai karakter muka yang keren. Plus gaya yang berbeda. Ini artinya, gue harus mencari tiga orang lagi. Biar gue sah jadi boyband.

Pilihan pertama jatuh kepada Falen. Teman gue. Rumahnya juga gak jauh dari tempat tinggal gue. Kenapa gue pilih dia? Karena dia ganteng. Hal itu pernah gue tanyakan ke ibunya. "Tante, saya atau Falen yang paling ganteng?" Tanya gue polos pas main kerumahnya.

"Falen dong nak. Kalau rupa kamu, tak ubahnya seperti sisa makanan yang gagal dicerna. Katakan itu pada orang-orang." Jawab ibunya mantap dan dengan belas kasih.

Dipaksa begitu, gue langsung teriak-teriak satu kampung "aku sisa-sisa makanan! Aku sisa-sisa makanan!"

Belakangan gue tau Falen anak pungut. Iya, itu ibu tirinya. Ibu ketiga. Pengen gue balik ke masa waktu ibunya ngomongnya gitu. Meneriakkan ini ditelinganya: DASAR KORBAN POLIGAMI GILA!

Kok gue jadi ngomongin dendam? Ah, biarlah.

Falen juga hobi nyanyi. Sama kayak gue. Badan kurus. Sama kayak gue. Bego. Gak sama, cuma dia doang. Baguslah. Gue senang punya personil yang banyak kesamaan sama gue. Bila nanti manggung suara gue fals, penonton punya pilihan untuk bacok yang mana. Antara gue dan Falen dari jauh kelihatan sama. Sniper dalam bidikannya pun akan terkecoh. Yang memaksakannya lempar kepingan untuk memilih. Kepala atau ekor.

"Len, loe ikut gue ya. Kita bikin boyband." Kata gue menawari.

"Hayuk! Kapan kita konser?! Gimana kalo kita langsung konser ajah?!" Falen berapi-api.

Gue gak bisa ngejanjiin konser apa yang cocok buat dia. Belum juga latihan paduan suara. Udah main nampil ajah. Rencana yang bagus untuk tampil di acara pemakaman.

"Sabar. Kita cari dua orang lagi yang mau gabung."

"Gak bisa berdua ajah emang? Nyanyi duo gitu. Kita kan keren." Kata Falen seraya mengatur poni rambutnya.

Gue mikirnya kalau nyanyi bareng Falen bakal di upahin nasi Padang. Bukan mirip penyanyi duo, lebih mirip pengemis bersaudara.

"Gak bisa. Kita kan mau jadi Westlife." Gue mengimingi.

"Ah iya. Benar loe!" Falen meloncat-loncat kegirangan.

Gue geleng-geleng.

Sekarang udah ada gue dan Falen. Tinggal dua orang lagi.

Kita berembuk untuk menentukan sapa yang pantas masuk boyband kita. Setelah mikir selama empat hari, pilihan pun jatuh pada Boy.

Boy adek kelas kita di SD. Tentu tubuhnya lebih kecil. Tapi tak sekurus kita. Cukup proporsional untuk anak seumurannya. Panjang rambutnya cuma satu sisir. Dengan tatanan cepak. Wajahnya cukup berwujud. Mata sayu. Hidung mancung. Namun tak ada yang sempurna. Bibir Boy memble. Menganga keluar. Ini membuat produksi air liur dalam mulutnya menjadi boros. Lima menit sekali Boy harus menyeka iler dengan bajunya.

Pacar BipolarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang