Cokelat Tanpa Rasa

840 18 12
                                    

Seringkali gue dengar kata-kata motivasi tuh gini, "semakin sering loe patah hati Re, hal itu bikin loe semakin terbiasa." Bisa jadi iya, bisa juga enggak. Pada kenyataannya, setiap kali gue ditolak cewek maka akan ngebuat gue semakin sakit. Luka yang gue dapet juga beda-beda. Diselingkuhin, ditinggalin tanpa sebab yang jelas, ditolak mentah-mentah, sampai ada juga cewe smart yang nyuruh gue berfikir sendiri antara gue sadar apa enggak. Sadar dalam artian muka gue belum cukup 'manusia' buat jadi cowoknya.

Alasan terakhir bikin gue paling frustasi. Pasalnya, cewek jenis kayak gini masuk dalam kategori cewek pintar. Doi yang bikin metode bahwa: menolak tak harus dengan ucapan. Ya, namanya adalah Vero. Namanya sesuai dengan kepintarannya.

Pertama kali gue ketemu Vero, benih-benih cinta tak tau diri langsung menusuk jantung gue. Bagaimana tidak? Vero adalah seorang gadis berusia 24 tahun. Cantik. Berkulit putih. Dan senyum yang mungkin sanggup menegakkan menara Pisa di Italia. Btw, gue pernah lihat menara Pisa yang miring itu... di gambar dalam kalender gue. Apa hubungannya? Gak ada. Gue cuma manjangin halaman buku.

Okeh serius.

Gue rasa adalah hal yang wajar jika jutaan orang di dunia ini suka sama Vero. Dan wajar juga, bila gue mengidolakan doi.

Terlalu seringnya gue ngajak Vero jalan biasanya juga terhalangi oleh terlalu sibuknya urusan masing-masing.

Layaknya orang Indonesia yang selalu beruntung, hari itu kita dipertemukan setelah hampir setahun lebih. Gue selalu ingat senyum manisnya. Gue selalu kebayang wajah cantiknya. Dan dia seorang guru, pintar. Menambah kekaguman gue sama Vero.

Gue: Ping!

Gue: jadi kita jalan?

Vero: hayuk.

Gue: jam berapa gue jemput?

Vero: jam 8. Jemput di komplek Lauraganda Blok A No. 170.

Gue: okeh. Tar jam 8 gue langsung kesana.

Selama menunggu jam delapan malam. Gue mencoba berbagai macam pakaian. Berusaha untuk tampil beda. Berharap gue bisa menarik perhatiannya.

Sampai akhirnya waktu yang ditunggu pun tiba.

Gue melangkah turun dari motor. Mencoba menemui Vero. Gak berselang lama, Vero keluar nemuin gue. Gue hendak pamitan sama orang yang ada di kost-annya. Tapi doi bilang gak usah. Gak ada siapapun.

Motor gue malam itu dinaikin oleh cewek yang udah lama gue idolain. Vero. Gue gemetaran. Canggung. Pengen rasanya nyemplung dalam kolam biar gue cepat bangun dari mimpi ini. Di motor gue gak bisa ngomong apa-apa. Sama hal nya dengan Vero yang juga diam.

Gue sempat nawarin helm gue ke doi. Biar gak kena debu. Tapi doi gak mau. Mungkin karena helm gue yang lebih bau dari keteknya tukang parkiran.

Paras cantik dari Vero terus membius gue malam ini. Gak ada ungkapan kalimat indah untuk menggambarkannya. Gak ada satu kata yang pun bisa disandingkan dengan kecantikannya. Mungkin gue berlebihan. Atau mungkin otak gue udah kehilangan keseimbangan nutrisinya. Gue gak mau tahu. Biarlah cafė ini menikmati keberadaannya. Keberadaan seorang peri yang sudi menerima ajakan gue. Gue dan doi sedang Blind Date. Kencan yang gak pernah gue tahu waktu dimulainya.

Setengah sepuluh gue ngantar doi ke kost nya. Sebelum berlalu, Vero mengatakan "bye." Itu doang. Dan sewaktu gue noleh ke wajahnya, dia tersenyum manis ke gue. Senyum yang berjarak satu meter itu hampir ngebuat gue mati.

Gue putuskan untuk cepat pulang. Kembali ke kamar gue. Gue mau pingsan di kamar ajah.

Sesampainya di kamar gue nungguin kabar dari Vero. Siapa tahu dia bakal bilang 'makasih ya udah ngajak aku jalan', maka berarti ada kemungkinan dia suka sama gue. Hampir satu jam gue nungguin Bbm pesan itu pun tiba. Bunyinya kira-kira seperti ini, 'bang, tadi Ten Coffee lokasinya dimana ya?'

Pacar BipolarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang