Sejauh ini aku menyukai setiap kegiatan yang kulakukan di desa ini. Mencuci pakaian dengan tangan yang belum pernah kulakukan sekalipun. Bibi dan nenek mengajarkan banyak hal soal kebiasaan hidup di desa. Aku cepat merasa cocok bahkan ingin tinggal di sini lebih lama.
Pagi ini aku dapat bagian untuk membersihkan salju sisa badai semalam. Jumlahnya terlalu banyak hingga aku harus mengganti pengeruk salju normal dengan kayu yang bagian bawahnya lebih lebar dari pengeruk biasa.
Sedang aku menyingkirkan tumpukan salju dari depan pintu rumah, keponakan perempuanku yang umurnya baru empat tahun, Dysia, bermain-main dengan boneka salju setinggi dagunya.
"Kak, ada tamu!" Suara kecil Dysia memekik. Aku mengangkat pandangan guna memastikan, namun tak menemukan siapapun di sini.
"Tamu dimana?"
"Di sini!" Gadis itu menunjuk dua bola salju yang ditumpuk jadi satu, ukurannya lebih kecil dibanding boneka salju yang dibuat Dysia pertama kali.
Aku tersenyum ringkas dan menjawil pipinya. "Iya, buat yang banyak. Jangan ganggu kakak dulu."
Setelah Dysia mengangguk aku kembali melanjutkan kegiatanku. Di balik jaket tebal yang kugunakan, aku berkeringat. Semua salju ini terasa semakin berat untuk disingkirkan dan tidak bisa bohong kalau aku mulai lelah.
"Kak, ada tamu!"
Aku mendengus kecil, Dysia memang hobi bermain-main. "Iya." Tanggapku singkat tanpa mengalihkan fokus dari apa yang tengah aku kerjakan.
"Arin?"
Aku spontan mengangkat kepala ketika suara berat itu mengalun. Kupikir Dysia kembali bermain-main, ternyata memang benar ada orang lain di sini. Seseorang yang sama seperti malam lalu, yang membuatku tidak bisa tertidur dengan tenang akibat terlalu banyak memikirkannya.
"Jay? Tau rumahku dari mana?" Rasanya peganganku pada gagang pengeruk melemas. Jay datang dengan senyum ramah yang biasa ia tunjukkan dan aku masih belum terbiasa untuk itu.
Langkah Jay mendekat, ia menunduk untuk memberi lolipop besar pada Dysia dan membisikkan sesuatu pada gadis itu. Sesaat setelahnya, Dysia mengulas senyum semangat dan pergi memasuki rumah. Aku tidak mengerti situasinya, yang kutau Jay kini kembali melangkah ke arahku.
"Dari Hana. Aku dateng ke rumahnya pagi ini buat nanya tempat tinggal kamu." Jay merogoh kantung mantelnya, mengeluarkan coklat besar yang dililit pita merah, menyerahkannya padaku. "Hadiah pagi."
Aku menatapnya kaku sebelum menerima. Lagi-lagi Jay memberiku hadiah. Aku selalu penasaran alasan apa yang ada di balik setiap perilakunya, tapi aku terlalu ciut sekedar untuk bertanya. "Makasih, kamu ngga perlu repot ngasih aku hadiah terus gini."
"Ngga apa-apa. Lagian kamu manis, selalu."
Sebentar. Di tengah cuaca dingin ini Jay berhasil membuat aliran darahku seolah ikut beku. Dia selalu bersikap tiba-tiba.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hiraeth [SUDAH TERBIT]
FanfictionThantophobia : fear of losing someone you love. _____ Aku selalu beranggapan bahwa setiap sikap yang Jay tunjukkan, semuanya berawal dari kesalahanku. Sebab kebaikan dan perlakuan manisnya terasa asing buatku. Hingga suatu hari aku menyadari, bukan...