Aku menerima panggilan video dari Hana pagi ini. Perempuan itu menceritakan banyak sekali kejadian yang terjadi di desa selama aku tidak ada. Tentang Jungwon dan Sunoo yang saat ini tengah menekuni hobinya untuk merajut, serta Jay yang telah sampai di sana sehari yang lalu.
Atmosfer berubah begitu canggung ketika nama Jay disebut. Hana tak banyak bertanya, namun aku mengatakan padanya kalau hubunganku dan Jay sudah baik-baik saja. Hanya baik-baik saja, tidak kurang apalagi lebih. Hana mungkin hanya mengira kalau aku dan Jay akan berteman seperti biasanya sekarang.
Sebelum panggilan ditutup, aku menitipkan sedikit pesan kepada Hana untuk Jay. Mengatakan kalau aku selalu menunggu kedatangannya kembali ke kota, juga mengatakan kalau aku akan berkunjung lagi setelah liburan semesterku tiba. Entahlah, setelah menghabiskan beberapa hari untuk memikirkan kalimat terakhir Sunghoon, aku merasa kalau satu-satunya hal yang dapat membuatku merasa lega adalah dengan kembali berdamai dengan Jay, juga dengan diriku sendiri.
Sebab aku tidak bisa terus memaksakan diriku untuk melupakan Jay.
"Rin, sarapannya udah siap." Aku menoleh begitu suara Sunghoon mengudara. Pria itu tengah meletakkan piring berisi makanan ke atas meja. Maka tanpa membuang banyak waktu aku segera menghampiri dan duduk di sampingnya.
"Kamu mubazir terus setiap hari. Pasti nanti kebuang lagi."
"Ya jangan dibuang," ia menyerahkan semangkuk nasi padaku. "Kan bisa dihangatin lagi buat makan siang, makan sore, makan malem."
Aku menghela. Benar, sih. Tapi aku tidak terbiasa makan makanan yang dihangatkan berkali-kali. Selama ini pun, aku selalu membuang makanan sisa tanpa sepengetahuan Sunghoon. Sebab jika pria itu tau, yang ada aku malah habis karena omelannya yang panjangnya melebihi omelan Mama. Sunghoon itu cerewet.
"Omong-omong, hari ini aku nggak bisa ke toko, kuliahku sampai sore." Aku menyuap makanan, Sunghoon hanya manggut-manggut sebagai respon. Akhir-akhir ini agaknya Sunghoon mulai terbiasa menjaga tokonya sendirian. "Tapi kan, kamu masih punya temen selain aku. Jadi nggak masalah."
Sunghoon menatapku dengan mulut penuh, kunyahannya terhenti. "Temen siapa?"
"Ara?" Aku mengulum senyum jahil. Suka sekali jika sudah membicarakan tentang Ara di hadapan Sunghoon. "Dia dateng terus ke tokomu setiap hari, kan? Nggak cuma beli lilin doang, dia juga sering ngajakin kamu ngobrol."
"Apaan, sih. Jadi nggak selera makan, deh." Mendadak dia meletakkan sendoknya kasar hingga menimbulkan bunyi berisik. Aku hanya memperhatikan ketika pria itu mulai menenggak minumannya buru-buru. Emosi. Aku tau dia emosi, tapi rasanya tak puas jika harus berhenti menjahilinya sekarang.
Maka, kali ini fokusku beralih penuh pada Sunghoon. "Kenapa sih, kamu ketus terus sama Ara? Coba bayangin, selama ini dia yang nemenin kamu di toko kalau aku nggak ada, tetep ngajak kamu ngobrol walaupun responmu selalu seadanya. Eh, kamu malah ngakuin aku sebagai istrimu." Aku berdecak dramatis," jahat kamu, Hoon."
KAMU SEDANG MEMBACA
Hiraeth [SUDAH TERBIT]
FanfictionThantophobia : fear of losing someone you love. _____ Aku selalu beranggapan bahwa setiap sikap yang Jay tunjukkan, semuanya berawal dari kesalahanku. Sebab kebaikan dan perlakuan manisnya terasa asing buatku. Hingga suatu hari aku menyadari, bukan...