Gabungan dari pernyataan Jay tentang Alyn yang berubah telak dengan apa yang kulihat kemarin di mal, berbaur menjadi satu dan membekas di kepala. Tak habis aku memikirkannya bahkan ketika hendak tidur. Siapa pria yang ada bersamanya? Kenapa Alyn tersenyum seperti itu padaku?
"Arin, ngga suka makanannya, ya?"
Lamunanku terpecah begitu suara Jay mengudara. Pria itu memperhatikanku khawatir, sedikit membuatku salah tingkah. Namun aku segera menggeleng pelan dan mengulas senyum ringan. "Suka, tapi kemarin aku habis makan mie."
"Ah, gitu. Kenapa ngga bilang. Mau makan apa? Biar kupesenin lagi."
"Apa aja, asal jangan mie." Jawabku hangat dan Jay lekas bangkit untuk menyampaikan pesananku pada pelayan.
Sedikit kronologi bagaimana aku dan Jay bisa bertemu malam ini. Kemarin aku mencuri nomor ponsel Jay dari ponsel Sunghoon yang kupinjam. Aku rindu pada Jay, juga penasaran tentang Alyn dan apa yang kulihat kemarin. Maka, aku menghubungi pria itu untuk bertemu. Dia sedikit kaget awalnya, namun aku meyakinkan kalau aku benar-benar sedang ingin bertemu dengannya.
Maka Jay tak menghabiskan banyak waktu untuk segera datang ke apartemenku. Kalau boleh jujur, aku kelewat merasa senang saat ini hingga lupa kalau Jay masih jadi milik orang lain.
Kami datang ke sebuah kedai makan sederhana atas ide dari Jay sendiri. Aku tak banyak berkomentar, sebab kemanapun dia membawaku pergi aku pasti siap mengikuti. Namun sekilas aku membandingkan Jay dengan Sunghoon. Setelah datang ke tempat ini, aku menyadari sesuatu tentang mereka berdua. Meskipun dekat, mereka berada pada level yang berbeda.
Sunghoon berada jauh di atas Jay kalau masalah finansial.
"Sebentar lagi makanannya siap. Kamu butuh sesuatu lagi?" Jay kembali duduk di sampingku. Aku diam-diam menggigit bibir karena sikapnya. Jay selalu berusaha membuatku nyaman saat berada di dekatnya.
"Ngga ada. Kamu cerewet banget daritadi nanyain aku butuh apa terus." Aku mencibir dan dia tersenyum semakin lebar.
Kemudian tanganku mulai sibuk mengeluarkan jaket dari dalam tasku. Dia tak berkutik begitu aku bangkit dan membantu memasangkan jaket itu di tubuhnya. "Kamu kayaknya buru-buru banget dateng ke rumahku, sampai lupa pakai baju hangat."
Dia masih tak bicara. Aku nyaris tertawa melihat reaksinya yang kaku berlebihan. "Jay, kamu tidur?"
"Y-ya?" Dia menoleh kaku, dan aku berhasil menyemburkan tawa bahagiaku. Balas dendam. Jay harus merasakan apa yang selama ini aku rasakan. Dia pikir aku baik-baik saja ketika dia terus bersikap manis padaku.
"Lucu." Aku mencubit gemas pipinya. "Omong-omong, itu jaket adekku. Dia agak gendut, makanya bisa muat di kamu."
Dia mengangguk sambil bergumam, memperhatikan jaket yang membalut tubuhnya. "Makasih," senyum manisnya kembali terulas, "aku suka wanginya, persis kamu. Aku kembaliin kalau wanginya udah ilang, biar kucuci dulu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Hiraeth [SUDAH TERBIT]
FanfictionThantophobia : fear of losing someone you love. _____ Aku selalu beranggapan bahwa setiap sikap yang Jay tunjukkan, semuanya berawal dari kesalahanku. Sebab kebaikan dan perlakuan manisnya terasa asing buatku. Hingga suatu hari aku menyadari, bukan...