Beberapa hari berjalan, hubunganku dan Sunghoon terasa makin nyaman selayaknya dua orang kawan lama. Kami lumayan sering menghabiskan waktu bersama, Sunghoon juga kadang datang ke apartemenku tiba-tiba untuk minta dimasaki makan malam. Kami juga semakin terbuka untuk menceritakan kisah masing-masing.
Selain Jaemin, sekarang aku punya Sunghoon sebagai temanku.
Sunghoon tinggal sendirian di sebuah apartemen kecil yang jaraknya tak jauh dari gedung apartemenku. Pria itu menggunakan uang tabungan yang ia kumpulkan selama di desa sebagai bayaran unit, juga uang dari orang tuanya.
"Enak, keluargamu juragan jeruk, banyak duitnya." Ucapku sambil menyuap ramen ke dalam mulut.
Dia mengangguk, sombong. Salah satu sifat yang memang sudah kusadari ada padanya sejak obrolan tentang lilin waktu itu. "Sebenernya mau minta berapapun juga orang tuaku pasti ngasih, cuma aku ngga enak. Udah gede gini masih minta sama orang tua, bukannya kerja."
"Tapi kamu kerja juga, di kebunmu."
"Iya, tapi tetep aja aku mau hasilin uangku sendiri. Makanya aku belajar buat lilin."
Aku salut dengan Sunghoon. Keputusan untuk putus pendidikan setelah lulus SMA adalah sesuatu yang besar. Dia adalah yang paling berkecukupan di antara semua teman yang lain, tapi melihat teman-temannya tidak melanjutkan pendidikan, Sunghoonpun ikut meski dia punya biaya jika saja ingin kuliah.
Meski begitu dia masih berusaha keras untuk bekerja dan menghasilkan uangnya sendiri.
"Omong-omong, sebenernya apa cita-citamu?" Topik obrolan jadi kian dalam. Aku ingin mengenal Sunghoon lebih jauh lagi.
Dia menerawang tatapannya ke depan sambil berguman. "Kayak anak kecil pada umumnya, dulu aku punya cita-cita yang ngga tentu, setiap waktu ganti sesuai sama apa yang sering aku liat. Tapi waktu aku SMP, ada relawan dokter yang dateng ke desa kami, waktu itu aku disuntik tapi lupa nama suntikannya apa. Yang jelas, aku nangis karna takut, tapi ada satu relawan dokter yang terus buat aku tenang sampai akhirnya aku mau disuntik."
Aku tertawa kecil dan terus menyimak setiap ceritanya. "Jadi cita-citamu dokter?"
Dia mengangguk. "Menurutku jadi dokter bukan cuma sekedar pekerjaan, tapi tugas. Aku selalu berpikir semua dokter punya hati nurani yang lebih. Karna alih-alih kerja, mereka nganggep semua yang mereka lakuin adalah bagian dari menyelesaikan tugas. Kalau udah liat orang yang sakit, mereka bakal langsung tergerak buat cepat bergerak karna mereka pikir saat itulah tugasnya di mulai. Aku salut sama insting mereka yang tanggap buat menyelamatkan. Dan mereka ngelakuin itu bukan semata-mata karna pekerjaan."
"Tapi balik lagi, untuk bisa jadi kayak mereka kita harus punya pendidikan." Dia mengakhiri dengan helaan napas.
Aku menyambut dengan senyum, menahan untuk tak terlihat norak dengan bertepuk tangan sekarang. "Cita-citamu keren."
KAMU SEDANG MEMBACA
Hiraeth [SUDAH TERBIT]
FanfictionThantophobia : fear of losing someone you love. _____ Aku selalu beranggapan bahwa setiap sikap yang Jay tunjukkan, semuanya berawal dari kesalahanku. Sebab kebaikan dan perlakuan manisnya terasa asing buatku. Hingga suatu hari aku menyadari, bukan...