🌒13🌓

1.5K 284 61
                                    

"Tahap yang paling tinggi dalam hal mencintai itu merelakan dia bahagia dengan yang lain."

~Bulan~

Bulan sudah berdiri selama kurang lebih sepuluh menit di depan pintu kamar nenek dan kakeknya. Bulan sejak lama ingin mencari tau tentang orang tuanya, tapi nenek dan kakeknya seperti menutup-nutupi keberadaan mama dan papa Bulan. Bulan menggigit bibir bawahnya, Bulan tengah bimbang sekarang.

Tadi Bintang mengantar Bulan pulang, tapi sebelum itu Bintang mengajak Bulan makan terlebih dahulu. Bulan kembali mengingat apa yang terjadi tadi sore, saat dia terjatuh atau merasa lemah, Bintang selalu ada. Menjadi penopang agar Bulan bisa kembali bangkit. Kapan perhatian yang Bintang berikan dapat Bulan dapatkan dari Langit?

Bulan menggeleng, sekarang bukan waktunya untuk memusingkan hal itu. Ada yang lebih penting sekarang, yaitu mencari tau di mana keberadaan orang tua Bulan. Ada rasa rindu yang tidak bisa Bulan jabarkan seberapa besar. Ada rasa kecewa yang tidak bisa Bulan jelaskan. Dan ada rasa sakit yang tidak bisa Bulan hilangkan dari hatinya.

Tangan Bulan meraih knop pintu, lalu memutarnya perlahan. Saat pintu terbuka dapat Bulan lihat bahwa kamar ini sangat rapih. Bulan melangkah masuk tidak lupa Bulan kembali menutup pintu. Jangan sampai aksinya di ketahui oleh bi Surti.

Bulan membuka lemari yang tiga kali lebih besar darinya, Bulan tidak tau harus mulai dari mana, ada begitu banyak berkas juga kotak dalam lemari itu. Bulan akan menghabiskan malamnya di kamar ini untuk menemukan apa yang Bulan cari selama ini.

"Banyak banget sih," keluh Bulan, dia hanya sendiri, Bulan butuh waktu sangat lama jika harus memeriksa satu-persatu berkas dan kotak yang berada di lemari neneknya.

Bulan menyerah, dia sudah menghabiskan waktunya selama dua jam, tapi Bulan tidak menemukan apa pun.

Ponsel di saku Bulan bergetar pertanda ada pesan masuk.

Embun
Gue ada di depan
Lo di rumah 'kan?

Bulan
Iya, tunggu bentar.

Bulan segera merapikan berkas-berkas yang dia keluarkan dari lemari. Setelah Bulan rasa isi lemari tersebut sudah kembali rapih, Bulan segera menuju pintu utama rumahnya.

Bulan membuka pintu, dan benar saja di depan ada Embun, bukan hanya Embun tapi ada Bintang juga.

Bulan meminta kedua orang itu untuk masuk, ada apa sampai-sampai Embun dan Bintang datang malam-malam ke rumahnya?

"Kenapa?" Bulan menatap Embun dan Bintang bergantian.

"Mentari masuk rumah sakit, gue sama Bintang ke sini buat jemput lo," jelas Embun. Sebenarnya tadi Embun ingin mengabari Bulan lewat telpon saja, tapi Embun khawatir jika sahabatnya itu keluar malam sendirian.

Mata Bulan membola saat mendengar ucapan Embun. Bulan berdiri, dan segera berlari menaiki tangga menuju kamarnya. Bulan mengambil jaket berwarna navy, dan tas selempang yang berisikan dompet miliknya.

Bulan turun dari tangga dengan tergesa-gesa, Bulan hampir terjatuh dan itu membuat Embun melotot marah ke-arah Bulan.

"Hati-hati Bulan!" sentak Embun.

Bulan tidak menghiraukan kemarahan Embun. Bulan menarik tangan Embun menuju mobil Bintang, sementara Bintang sudah berada di dalam mobil. Bulan sangat khawatir dengan keadaan Mentari. Sepertinya tadi siang Mentari baik-baik saja, lalu kenapa sekarang tiba-tiba masuk rumah sakit?

Saat tiba di rumah sakit, ketiga remaja itu berjalan beriringan menuju kamar inap Mentari.

Saat Bulan ingin memutar knop pintu, suara dari dalam sana membuat Bulan mengurungkan niatnya.

"Gue sayang sama lo, Tar, jangan sakit, gue gak bisa lihat lo kek gini. Lo segalanya buat gue."

Bulan tidak mungkin salah dengar, itu suara Langit, kekasihnya. Pengakuan Langit barusan bagaikan sebuah tamparan untuk Bulan. Tamparan yang mampu membuat Bulan kembali pada kenyataan, bahwa Langit memang tidak pernah mencintainya.

Air mata Bulan tumpah tanpa di minta, tangan Bulan bergetar, perlahan Bulan menurungkan tangannya yang semula berada di knop pintu kamar inap Mentari.

Embun dan Bintang yang melihat reaksi Bulan saat mendengar perkataan Langit, merasa kasihan pada Bulan, Bulan sangat baik, dia seharusnya tidak merasakan sakit terus menerus.

Bulan mundur perlahan sebelum akhirnya berlari meninggalkan Embun dan Bintang.

Embun yang ingin menyusul Bulan di tahan oleh Bintang. "Biar gue yang kejar, lo di sini aja," tegas Bintang.

Embun mendongak, menatap Bintang yang jauh lebih tinggi darinya. "Pastiin Bulan baik-baik aja ya, Bintang," pinta Embun.

Bintang mengangguk, lalu segera berlari menyusul Bulan.

Bulan beralari menuju taman kecil yang berada di samping rumah sakit, Bulan bahkan menabrak beberapa orang yang ia lewati, dalam hati Bulan terus merapalkan kata maaf.

Kenapa harus sesakit ini? Bulan bahkan kemarin sudah sedikit berharap saat melihat Langit yang sudah mulai berubah. Bulan memang sudah menerka-nerka ini akan terjadi. Tapi Bulan tidak pernah berpikir bahwa saat dia mengetahui perasaan Langit pada Mentari, dia akan merasa begitu terluka.

Lalu apa sekarang? Bulan tidak tau harus menangis atau tertawa, menagisi Langit yang ternyata tidak mencintainya, dan tertawa atas kebodohannya selama ini.

Bulan berdecih, seharusnya dia tidak berharap lagi, bukan 'kah selama ini Bulan selalu menderita? Lantas kenapa Bulan malah mengharapkan kebahagiaan? Bulan memaki dirinya yang begitu mudah mencintai Langit, sesuatu yang sampai kapan pun tidak bisa dia gapai. Langit terlalu tinggi, Langit terlalu luas, Langit terlalu gelap saat Bulan datang. Sebanyak apa pun usaha Bulan untuk menerangi Langit yang gelap, tapi itu tetap saja tidak membuahkan hasil, Bulan hanya semakin tersiksa.

Bulan mendudukkan dirinya di bangku taman. Bulan mendongak untuk menghalau air matanya yang hampir jatuh. Sebaik itu Tuhan menciptakan alur yang indah untuk kehidupan Bulan, menyalahkan takdir juga bukan sebuah solusi kan? Karena bagaimanapun itu,  Tuhan tau yang terbaik untuk hambanya.

Mulai sekarang mungkin Bulan akan berhenti berharap, Bulan akan hidup sesuai alur yang telah di rancang untuknya. Jika memang takdirnya yaitu tersiksa sepanjang hidup, Bulan akan mempermudah semuanya, jangankan orang lain, Bulan bisa menyiksa dirinya sendiri.

Bulan terkekeh pelan, apa kabar dengan hati dan logika yang Bulan miliki. Masih dapatkah keduanya berfungsi dengan baik? Bulan hanya bisa tersenyum miris. Bulan tidak mati rasa, dia hanya lupa bagaimana caranya untuk merasa.

Bulan sudah lelah menangisi Langit, air matanya mungkin sudah hampir habis. Mata Bulan bengkak, dan wajah Bulan tampak memerah. Bulan ingin menangis pilu, tapi dia sudah tidak sanggup. Bulan membiarkan dadanya terasa sesak, biarlah semuanya tertampung, hingga Bulan memilih menyerah.

Antara ingin menghujat juga menangis melihat takdir Bulan. Terlalu sulit merasakan kebahagiaan, mungkin.

Tadi minta double up kan? Ini udah ku kasi><

Jangan lupa klik bintang di pojok kiri, makaseh❤🙆




Bulan story: Cinta segi banyak [END] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang