Gadis itu meringkuk tubuhnya. Tangannya memeluk kedua lututnya. Air mata terus mengalir membentuk dua sungai kecil di pipi kemarahannya. Matanya terpejam menahan semua beban yang tak kunjung terselesaikan. Kapan semua ini berakhir... Rintihnya pelan. Lantai kamar mandi yang terasa sangat dingin mencekam ikut mendinginkan hatinya. Hatinya telah beku, gelap dan sunyi. Tiada cahaya, tiada lentera. Semua seakan terampas begitu saja, tanpa ampun. Badannya semakin menggigil kedinginan. Di luar hujan seakan ikut menangisi nasib malangnya. Betapa nestapa jiwanya. Sesaat kemudian tubuh itu terkulai lemas tak sadarkan diri. Kesedihan seakan tak sudi meninggalkannya, dalam keadaan tak sadarpun matanya terus mengalirkan air beningnya.
Sania sayang, bangun, nak. Kami merindukanmu...
💌💌💌
KAMU SEDANG MEMBACA
The Primadona
Teen FictionKilatan pisau menusuk suatu benda dalam Kegelapan. Disusul dengan jeritan memilukan. Darah bercucuran bak air mancur. Pekatnya warna merah darah yang disinari cahaya rembulan. Sayatan-sayatan meninggalkan luka terdalam walau jasad bahkan tak bernyaw...