02 || Playboy Kelas Paus

12 2 0
                                    

Ilmu-ilmu terserap sedikit demi sedikit menjadi bukit. Walau pelajaran matematika bagi Sania begitu unik. Bahkan sebagian orang mengatakan susah. Sania tidak sependapat dengan pernyataan tersebut karena dia tidak ingin mensugestikan dalam benaknya susah. Jika ia terus berpikir susah maka sampai kapanpun akan sulit. Sania bukan tipe murid pandai yang hanya sekali lihat langsung mengerti. Kepalanya juga akan pusing tujuh keliling jika berhadapan dengan matematika, fisika, apalagi kimia. Ia bukan juga tipe orang yang hanya menunggu karamah dari tuhan dan pasti tidak akan datang tanpa usaha. Sekeras apapun Sania belajar juga tidak pernah menempati peringkat pertama. Ia cuek aja dengan apapun yang didapatkan, karena usaha-usaha sudah dilakukan. Toh manusia tidak mungkin bisa melebihi kapasitas otak masing-masing.

"Mekom... buk Astrid..." Rolfie si Playboy kelas paus baru masuk pelajaran. Suara Rolfie menggelar. Tanpa rasa malu ia melenggang masuk di tengah pembelajaran.

"Mekom-mekom kalo engga ada niat ngasih salam gak usah kasih salam. Darimana kamu masuk-masuk gak ada aturan?" Seru Bu Astrid berapi-api.

"Ciee... ibuu kepoin sayaa..." Rolfie Menaik turunkan alisnya.

Seluruh kelas tertawa kecuali Sania tentunya, emosi seakan ingin menyemburkan lava Merapi. Sania sedang fokus-fokusnya pada pelajaran yang 'mudah' ini, tapi konsentrasinya langsung pecah karena keributan yang dibuat oleh Rolfie.

Sreek... suara kursi ditarik dengan keras dan cepat. Sania berdiri tegak. Cukup sudah selama ini ia tahan dengan tingkah Rolfie. Pandangannya lurus ke depan, tajam dan menusuk pandangan Rolfie. Kelas langsung hening.

Bu Astrid memijit pelipisnya. Sungguh memusingkan mempunyai murid seperti Rolfie ini. "Rolfie berdiri di depan!"

"Kenapa Buu?"

"Kamu berani nanya kenapa?"

"Ya berani laah buu, ouh saya tau kenapa, karena ibu pengen mandang wajah ganteng saya terus yaa..." Rolfie menyengir lebar.

"Kamu telat masuk."

"Tadi saya di panggil Pak Harto biasa masalah OSIS."

"Kenapa engga bilang dari awal? Yaudah sana duduk!"

"Noh tadi kan bilang!"

Bu Astrid tidak menghiraukan Rolfie, karena jika dibalas tidak akan pernah selesai. "Baik anak-anak kita lanjutkan!"

"Yah guenya dicuekin, sakitnya tuh di sini" Rolfie memegang Dadanya.

Sania masih berdiri memandang tajam Rolfie. Rolfie menyadari hal tersebut ia pun balas memandang Sania, Tapi seerr... dia merinding dipandang begitu. Sesaat kemudian dia melirik kembali Sania, menarik nih cewek... Rolfie tersenyum tipis. Rolfie kembali ke tempat duduknya. Sania duduk kembali.

Selama pelajaran berlangsung Rolfie terus melihat ke arah Sania. Ia tidak bisa mengalihkan pandangannya, begitu terbuai. Kalau masalah pelajaran sekali lihat pun langsung bisa. Diingat-ingat lagi koleksi mantannya, belum ada yang model seperti ini. Wah, incaran koleksi baru nih... Dalam tiga hari gue harus dapatin nih cewek, gak tiga hari kelamaan. Satu hari cukup. Biasanya cewek juga pada mau sama gue dalam satu kedip mata... susun rencana dulu aah...
Rolfie menyeringai lebar. Kepalanya di penuhi rencana-rencana licik seorang playboy. Hahaha... liat aja nanti...

Sania merasa seperti ada yang memandanginya dari tadi. Ia mengedarkan pandangannya dengan mata, tanpa menggerakkan kepalanya. Di depan tak ada yang memperhatikannya, semua fokus mengerjakan tugas yang diberikan oleh Bu Astrid. Ditolehkan kepalanya ke belakang dengan cepat. Pandangannya langsung bertemu dengan Rolfie. Ia balas pandangan tersebut dengan tajam, menusuk. Seakan matanya mampu mengiris mata Rolfie. Rolfie meringis, tapi matanya masih tak lepas dari Sania.

The Primadona Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang