06 || Taruhan

4 1 5
                                    

"WhatsApp, bro." Dimas yang rambutnya jingkrak mengangkat tangannya. Menggepal. Salam ala anak muda itu, lho.

Rolfie tidak mengubrisnya. Terus berjalan. Wajahnya sangat kusut dengan rambut awut-awutan. Kafe yang bisa ramai itu sepi oleh pengunjung. Bukan sepi melainkan hanya mereka berlima saja di sana. Ya, Rolfie sudah mem-booking satu kafe itu. Tajir melintir. Mengapa mereka tidak berkumpul di ruangan tertutup saja? Siapapun suka dengan kafe dengan interior klasik dan adem, begitu juga mereka.

Rolfie butuh ketenangan sejenak. Menghabiskan uang yang menurutnya tidak seberapa bukan masalah.

"Woi, pipi! Napa tuh muka? Udah kayak orang ditolak cinta aja lu. Noh sana ke dokter cinta! Ye kagak ges?" Alex bertanya pada gengnya.

"Yoi"

"DIAM LU PADA!?!" Suara Rolfie menggema keras. Seisi kelas menoleh ke arahnya, kecuali Sania tentunya.

"Ssss... Ngeri takut gua." Dean memeluk dirinya seraya mengusap pundaknya. Seperti orang kedinginan.

"Gimana taruhan kita?" Ketus Alvino, cowok terdingin di circle itu.

Semua mata tertuju pada Rolfie. Mereka menanti jawaban sang ketua komplotan itu. Rolfie terdiam tidak ada progres dari usahanya. Hati Sang bidadari tak kunjung didapatkannya.

"Gue bilang apa? Tuh cewek dingin banget. Lu liat aja raut wajahnya misterius." Alex nyeletuk.

"Gua suka cewek penuh misteri." Alvino yang biasanya jarang ikut nimbrung dalam pembicaraan ikut menyampaikan opini diiringi senyuman ala smirk-nya.

"Jangan coba-coba lo dekatin gebetan gue!" Rolfie memandang Alvino tajam. Orang yang selalu jadi saingannya dalam segala hal. Dan kini ingin merebut perempuan incarannya.

" Udah lo pada jangan berebut. Udah gue bilang dari awal tuh cewek enggak bakal ada yang bisa taklukin." Dimas tertawa meremehkan.

"Bahkan Rolfie aja, cowok paling sempurna di sekolah kita nyaris nyerah." Sambung Dimas lagi.

Mendengar itu Rolfie langsung bangun dari duduknya dan menarik kerah Dimas. Ia tak terima diremehkan seperti itu. "Lo bilang apa?" Wajah Rolfie memerah karena marah. "Coba lo ulangi!"

"Pi, Pin, santai-santai," Alex melerai perkelahian kecil itu. Eits, nyaris membesar bukan?

"Jangan coba-coba lo deketin cewek gue!" Seru Rolfie berapi-api.

"Dih! Emang udah jadian!" Alvino mendesis pelan. Ciut juga nyalinya melihat Rolfie marah sebegitu, tapi ia tak mau kalah.

"Ngomong lagi lu? Sini liat gua!"

"Udah pipi," Alex menenangkan Rolfie dengan menyuruhnya duduk.

"Jadi gimana taruhannya?" Dimas bertanya di sela-sela suasana yang mencekam itu.

Alex memplototi Dimas dengan mata terbuka lebar. Ia gemas pada Dimas yang masih memikirkan masalah pertaruhan itu di saat yang tidak tepat seperti ini.

Tak lama kemudian Adrian yang tenang diantara mereka membuka suaranya setelah sekian menit memperhatikan sekawanan yang asyik bertengkar. "Gue enggak mau tau Lo harus menangin taruhannya. Atau tuh uang sepuluh jutanya buat gue. Lumayan lah buat bantu anak panti." Setelah mengucapkan itu, Adrian melengang pergi meninggalkan gengnya. Banyak yang harus diurusnya. Waktunya terlalu berharga untuk melihat pertengkaran sepele itu.

"Ah, gak asik Lo, yan!"

Rolfie mengambil gelas kecil berisi minuman mahal. Minuman beralkohol itu habis dalam sekali teguk. Walau mereka dibawah umur bukan jadi masalah. Cafe sekaligus bar itu milik relasi bisnis papanya Rolfie. Jadi mereka bisa seenak jidatnya masuk. Untuk menghilangkan stres itulah pelarian mereka. Yah, dalam keyakinan Rolfie pun tidak melarangnya.

The Primadona Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang