04 || Setitik Celah

5 1 0
                                    

Ada lima orang di depan. Tiga orang di belakang. Sania mendongakkan kepalanya, menanti. Antrian yang tadi mengular pun menyusut, mayoritasnya ciwi-ciwi. Mereka mengikuti kajian bukan karena pembahasan yang disampaikan di dalamnya. Sania mendengar obrolan dua orang di depannya.

"Lo tau ga kenapa gue mau ikut kajian ginian?" Tanya gadis berkepang dua.

"Tau lah gua! Gua juga ikutan karena itu juga. Lu tau sendiri kalo gua Kristen. But, pembawaan kak Taufan itu lho, adem banget. Betah gua lama-lama denger tausiyahnya." Bisik gadis mata Cipit dengan rambut merah bergelombang. Sangat nyentrik.

Dua gadis itu cekikan. "Suruh siapa ketuanya ganteng bet!"

Sania mengerutkan keningnya. Alisnya yang sedikit tebal ikut bersatu. Ia mengerti mengapa remaja-remaja perempuan banyak yang mengikuti kajian ini. Bukankah ia juga memiliki alasan yang sama? Kalau tentang kajiannya ia sudah lama menguasainya. Yang Sania butuhkan bukan itu. Tadi pagi, tetiba Sania tahu suplemen apa yang dibutuhkannya. Darahnya berdesir disertai degupan jantung yang keluar dari ritme biasanya. Jangan. Jangan simpulkan dulu. Jangan lihat wajah Sania sekarang. Seperti kepiting rebus kalau dalam novel romansa klasik. Mengapa? Ia pun tak peduli alasannya, yang jelas ia tidak pernah merasakan euforia ini.

"Assalamualaikum... Mau mendaftar kajian?" Seorang panitia bertanya menyadarkan Sania dari interupsinya.

"Ah. Iya!" Sania sedikit tergagap, tidak terasa gilirannya telah tiba.

"Namanya?"

"Sania Sheza Almahyra."

"Kelas?"

"Sebelas, dua"

"Baik pendaftaran untuk Snack 5k"

Sania merogoh saku celananya. Mengeluarkan lembaran berwarna kuning.

"Baik, terimakasih. Silahkan berkumpul di aula setelah istirahat kedua."

Sania mengangguk sekilas, kemudian beranjak menuju kelasnya. Ditarik roknya yang dirasa sedikit pendek. Sejajar dengan lututnya dengan legging pantyhose tembus pandang berwarna hitam. Bagi kebanyakan siswi mungkin malah kepanjangan, mereka memakai rok di atas paha. Namun berbeda dengan Sania, ia lebih nyaman dengan pakaian tertutup. Ya, hanya sedikit tertutup. Resleting jaket hitam kulitnya ia naikkan sampai ke leher sehingga menambah kesan cool-nya.

Seperti biasanya pembelajaran berlangsung. Kadangkala membosankan dan terkadang mengasyikan juga tergantung pada pembawaan guru. Sania mengikuti setiap materi dengan serius walau dipenuhi oleh sorakan serta ocehan teman sekelasnya. Ia tidak peduli. Jika terlalu mengusik, Sania hanya melirik dengan ujung matanya. Sinis.

Jam 13.00

Bunyi berisik dari speaker sekolah yang terdapat di setiap kelas. Sepertianya akan ada pengumuman.

"Assalamualaikum... Perhatian-perhatian. Bagi siswa yang telah mendaftar kajian rohis harap segera berkumpul di Masjid sekolah." Seru suara dari speaker. Suara perempuan.

"Lho bukannya di aula?" Tanya Sophie pada Rena. Dua Gadis yang duduk di depan Sania.

"Tau ah! Plin-plan!" Ketus Rena, kesal seraya memasukkan buku dan alat tulisnya ke dalam tas.

"Mungkin karena banyak yang daftar." Sophie ikut beberes.

"Gimana kalo Gue ajuin privat aja sama kak Taufan?"

"Serah Lo, bodo amat. Norak!"

Rena mengerucutkan bibir dan alisnya ikut bertaut dikatai seperti itu. Mirip jeruk purut.

Sophie acuh. "Lu ikut ga, San?" Sophie menolehkan kepalanya ke belakang.

"Gue?" Sania tidak menoleh sedikit pun.

The Primadona Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang