07 || Mimpi atau Kenyataan?

6 0 0
                                    

Semua itu berawal...

Anak perempuan mungil berumur tujuh tahun. Sedangkan yang laki-laki berumur lima tahun. Mereka kakak-beradik. Berlarian, kejar mengejar mengitari rumah yang tidak begitu luas. Kakak bersembunyi si adik bertugas mencari. Kemudian berganti.

Malam semakin larut tapi gelak tawa tidak surut dari wajah anak-anak kecil itu. Mereka bahagia. Tertawa lepas. Mak dan abu mereka beberapa kali menyuruh untuk tidur. Namun tak dihiraukan. Kedua orangtuanya itu hanya bisa tersenyum melihat kekonyolan putra dan putri mereka. Membiarkan mereka bermain sebentar lagi. Toh, jika sudah lelah mereka juga akan terlelap sendiri.

Tok, tok, tok... Itu bukan suara ketukan pintu melainkan gedoran. Suara di pintu utama rumoh Aceh itu bertubi-tubi. Seperti hendak didobrak pintu kayu yang sudah lapuk.

Mendengar kegaduhan itu sang ayah menyuruh isterinya membawa anak-anak masuk ke kamar.

"Keluar! Cepat keluar!" Suara seseorang dari luar.

"Wa'alaikumussalam," seru Sang ayah membuka pintu dengan wajah yang selalu tersenyum dan teduh.

Tanpa berkata apapun salah satu orang berbaju loreng menarik paksa tangan sang ayah.

Melihat suaminya diseret paksa, wanita yang sedang melindungi anaknya keluar dari persembunyiannya. Bergegas memakai kerudung besarnya ke kepala. Sang ayah dibawa menuruni tangga rumah kayu dengan kasar. Miris hati si isteri melihat suaminya diperlakukan seperti itu. Apa salah mereka? Selama ini mereka selalu baik kepada semua orang. Walau di negeri itu sedang terjadi perseteruan, Keluarga itu netral tidak memihak pada siapapun. Mereka hanya menyampaikan risalah nabi. Menyebarkan agama. Mengajarkan anak-anak mengaji. Tidak sekalipun tertarik masalah politik.

Wanita itu membawa anak-anaknya menuruni tangga belakang untuk bersembunyi di balik batu besar. "Tetap di sini jangan kemana-mana!" Pesan sang ibu yang kemudian bergegas pergi menyusul suaminya.

Dor...

Suara ledakan memekakkan telinga. Si kakak menggenggam tangan mungil adiknya. Melongokkan kepalanya untuk melihat kejadian yang berada di balik batu besar. Air mata tidak dapat ditahan lagi. Menetes begitu saja melewati pipi bulatnya. Si Adik mendongakkan kepalanya melihat kakaknya. Anak perempuan mungil itu memeluk adiknya erat. Mereka ketakutan. Bergigil badan kakak beradik itu. Saling berpelukan untuk memberi kekuatan.

Si kakak memberanikan diri untuk mengintip lagi.

Kilatan pisau menusuk suatu benda dalam Kegelapan. Disusul dengan jeritan memilukan. Darah bercucuran bak air mancur. Pekatnya warna merah darah yang disinari cahaya rembulan. Sayatan-sayatan meninggalkan luka terdalam walau jasad bahkan tak bernyawa lagi. Kejam.

Suara-suara senapan terdengar memekakkan telinga. Tiada ampun. Cahaya bulan berpendar menerpa wajah biadab itu. Gadis kecil itu menyaksikan segalanya, ia tak sanggup lagi melihat kejadian yang nestapa itu terjadi pada orang-orang yang disayanginya. Ia bersembunyi di balik dinding. Kedua kakinya seakan lumpuh. Ia peluk adik kecilnya lebih erat. Air matanya tidak pernah mengering. Ia mengintip sekali lagi. Para biadab itu telah pergi ikut membawa jasat tersebut. Kemana perginya? Kemana dibawanya?

🖤🖤🖤

Keringat dingin bercucuran dari tubuhnya. Matanya terbuka lebar tiba-tiba. Gadis itu tersadar. Mimpi buruk itu datang lagi. Menghantuinya selama bertahun-tahun. Tak tahan lagi. Ingin menangis, air matanya tak bisa keluar. Ingin teriak, suaranya tertahan. Ingin mengadu, namun siapa yang mendengar keluhannya?

Wajah Sania lebih pucat dari biasanya. Diseka peluh yang ada di dahinya. Air yang ada di atas nakas diminumnya seteguk. Kemudian beranjak dari tempat tidurnya. Hari masih gelap. Jam menunjukkan pukul empat. Sania bergegas menuju kamar mandi.

The Primadona Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang