8

43 10 0
                                    

~Happy Reading 🚗~

Pria paruh baya itu menatap lamat seseorang di depannya. Tatapan sulit terbaca, tanpa berlama-lama ia berlari kecil membukakan Dazahra pintu mobil, sebelumnya melapisi bangku kendaraan itu menggunakan plastik khusus.

Dazahra masuk dengan langkah kecil. Mendudukkan bokong yang terasa sakit. Kembali ketika mobil berjalan pandangannya menatap sekitar. Hawa baju yang apek juga aroma telur menyengat dari tubuhnya.

Pak Rezki selaku supir memberhentikan laju mobil. Ia berbalik menatap majikan mudanya.

"Saya akan membelikan seragam baru. Sebaiknya nona bersihkan dulu karena kita akan ke kantor Pak Radit," jelas Pak Rezki yang setelahnya memasuki sebuah toko pakaian sekolah.

Memang benar. Untung saja bukan radit yang menjemputnya, Pak Rezki berkata bahwa ayahnya ada rapat dadakan membuat niat untuk menjemput terurungkan.

Sekitaran dua puluh menit supir pribadi itu kembali, ditangannya terdapat kresek berlogo. Memberikan pada Dazahra, lalu menunjuk kamar mandi dekat toko tadi.

Sedikit mengangguk lalu bergegas pergi. Tak ayal pandangan mata khalayak melirik terhadapnya.

***

Gadis itu tampak lebih segar setelah berkutat lama membersihkan tubuh. Kali ini degup jantungnya begitu cepat, ritme darah yang mengalir semakin kuat. Tangannya panas dingin.

Tapaknya menginjakan kaki pada perusahaan milik Radit. Sudah sangat jelas Daza takut, apalagi Pak Rezki sudah pergi.

Dirinya menunggu dengan hati was-was. Berusaha setenang mungkin tapi tak bisa. Ketika pintu kekuasaan milik ayahnya terbuka lebar, menampilkan sosok berbadan tegap. Bola mata yang menusuk. Neira-selaku asisten Radit menyuruhmya masuk.

Ceklek

"Ayah," lirihnya menunduk.

Radit menyampirkan jas miliknya. Membuka satu kancing pada bagian atas kemeja juga tak lupa mengulung sebagian lengan bajunya. Dia menyuruh putri semata wayangnya itu duduk.

"Waktu saya sedikit. Langsung ke intinya saja. Saya ing--," Kalimatnya terpotong.

Dia berdiri dari duduknya membuat Daza ikutan bangun. Sedikit heran, ada apalagi ini.

Radit menarik paksa tangan perempuan itu membawanya ke ujung tembok. Menyudutkan Dazahra. Lagi matanya menajam bahkan rahangnya mengeras. Seperti ada kekesalan yang terpendam.

"Apa ini?" Radit mengangkat dagu Daza. Ia mengelus pipi merah, juga bibir yang tergores.

Dazahra menunduk tak mampu menjawab.

"SAYA TANYA APA INI?" Suara pria itu meninggi.

"Maaf ayah," katanya pelan.

Pria berkemeja hitam itu menggeleng pelan. Kesabarannya sudah di ujung.

Perlahan tangan yang semula di pipi sudah beralih memegang rambut Daza. Menariknya kencang, lalu memaju mundurkan kepala gadis tersebut membuatnya terpental oleh sentuhan tembok.

"ARGHH!" erang Dazahra merasakan sakit. "Ayah am-ampun, hiks..."

"Kamu tawuran kan!" todongnya.

Dazahra menggeleng. Mana berani ia berlaku seperti itu. Dirinya hanyalah gadis yang lemah, tidak mungkin dan tak akan bisa.

"SAYA BIARIN KAMU SEKOLAH UMUM BUKAN BERARTI KAMU BEBAS DAZAHRA!" teriaknya tepat di depan wajah sang anak.

Tanganya masih aktif memukul kepala Dazahra. Bahkan memberi beberapa tamparan. Dia marah, sangat.

"MAU JADI APA KAMU, HAH!"

"Sa-sakit ayah." Kembali berlirih tapi tak didengarkan.

Radit menarik rambut anak itu. Otomatis ia berjalan menuju kamar mandi ruangannya. Menenggelamkan kepala Dazahra pada bak. Berulang kali hingga kekesalannya mulai mereda.

Dilihat wajah gadis itu memucat. Matanya tertutup, keadaannya benar-benar miris. Merasa capek juga kesakitan.

"Saya pikir kamu sudah berubah. Tetap saja, dasar anak nakal!" jeritnya.

Sekali lagi tak ada belas kasih Radit menguncinya dalam kamar mandi. Mematikan lampu toilet itu juga.

Dazahra berbaring lemas pada keramik. Tangannya mengigil, ia menanggis sejadi-jadinya. Lagi, dia yang salah tanpa sedikitpun pembelaan terlontar.

"Ayah hiks ... Daza minta maaf. Ga akan ulang lagi. Janji ga bandel." Ia berkata pelan.

"Aku mau jelasin semua. Tadi Daza di bully. Sakit tau, mau ngeluh ke ayah tapi keburu marah duluan." Dia menarik nafas sejenak, sangat sesak rasanya. Bangun dari baringnya kemudian menyadar pada pintu. "Tolong jika mau mukul, beri aku kesempatan buat obatin luka sebelumnya, biar sakitnya ga double. Aku mau cicil sakitnya jangan sekaligus, Daza ga kuat," lirihnya pecah.

"Cuma mau bilang. Sekeras apapun perlakuan ayah. Dazahra Aurelia, putrimu tetap menyangimu."

"Senyuman di balik jendela. Aku rindu, aku harap ketika di rumah nanti lengkungan itu kembali ada."

Dazahra bangkit lalu menguyur tubuhnya, menanggis dalam dinginya air juga perihnya luka yang terkena.

***

Sosok remaja mondar balik. Sesekali melirik tapi tidak ada tanda kehidupan di seberang sana.

"Abang makan dulu!" teriak seseorang dari arah luar kamar.

Lelaki itu terperanjat, sedikit membuka tirainya. Lampu mobil menyorot pada perumahaan sepi itu. Ia melihat kedua orang turun.

"BANG DIPANGGILIN IBU!" Dirinya berdecak. Adiknya ini menganggu saja.

"Iya bentar suruh makan duluan aja," sahutnya.

Lagi membuka tirai, terpampang jelas gadis yang beberapa hari ini tidak muncul sedang menunduk lesu. Ia sudah hapal gerak geriknya, pasti terjadi masalah pada gadisnya.

Samar-samar Perempuan bermanik pekat tersebut berbalik. Refleks seorang cowok tersenyum. Salah satu cara yang sedari dulu ia lakukan untuk menenangkan hati wanita muda tersebut.

Mendapat senyuman balik membuat hatinya berbunga-bunga.

"Selain Ibu gue. Lo juga termasuk hal paling berharga, Dazahra," katanya lalu menjauh dari horden kamarnya.



Salam balap
Anaklorong

M'Daza (di balik jendela) ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang