13

34 7 0
                                    

~Happy Reading 🚗~

Orang-orang berlarian sana-sini. Bersorak heboh akan gemparnya topik terhangat hari ini. Beberapa kerumunan silih berganti pada mading sekolah. Berbagai ekpresi tercurahkan, dominan kaget juga tak percaya.

Dazahra yang sedang berjalan menuju kelas. Mendekat penasaran. Semakin dekat semakin terdengar juga cibiran pada seseorang. Bahkan hinaan terlontar.

Gadis manik pekat tersebut menganga tak kala melihat sosok di depannya tengah duduk sembari menunduk. Sedangkan yang lain terlihat sedang mencaci maki perempuan itu.

"WOI APA-APAAN LO PADA!" Suara tinggi melebih yang lain mampu membuat semuanya diam.

Pria muda itu mensejajarkan badannya. Menatap lekat sang korban. Sementara si pembully sudah pergi karena merasa telak. Kini hanya tersisa beberapa saja diantaranya Daza masih ada.

"Lo ga papa?" tanya lelaki itu memisahkan rambut yang menutupi wajah perempuan tersebut.

Metalik sesegukan. Kemudian pandangannya ter-arah kembali ke bawah.

Entah gerakan dari mana Daza perlahan mencoba menghampiri Meta. Mengusap singkat punggung gadis itu.

Tatapan Dazahra juga lelaki itu bersitumbruk. Saling mengunci satu sama lain. Perpaduan redup dari Daza juga manik tajam milik pria berpakaian acak-acakan tersebut.

Kilat berdehem lalu membuang pandanganya. Entah kenapa ia merasa kesal melihat Dazahra. Perlahan tapi pasti Kilat membopong tubuh lemas Metalik, kemudian pergi meninggalkan Dazahra sendiri.

Wanita surai panjang itu berdiri. Berbalik, melihat perihal sesuatu yang sedang gemar digosipkan para murid.

Deg

Seolah jantungnya berhenti berdetak. Di sana terpampang jelas gambar Metalik yang tak memakai busana sama sekali. Dengan efek hitam putih pada foto juga caption pedas. 'Dasar pelac*ur. Mending ga usah sekolah, jual diri aja sono'.

*

**

Sehari setelah kejadian kemarin. Metalik sakit, membuat banyak orang memekik senang. Menurut mereka gadis tersebut hanyalah petaka bagi sekolah ini. Dari mata memandang penilaian tentang Meta adalah sosok gadis munafik yang hanya pura-pura lugu untuk mendapatkan simpatik.

Lupakan soal Meta terlebih dahulu. Biarkan ia beristirahat dengan tenang tanpa hujatan. Beralih pada salah satu adegan baku hantam yang sedang berlangsung saat ini. Pertarungan sengit antara Geografi dan Morgan.

Walau belum jelas permasalahannya namun penonton sangat riang menyebutkan suara satu sama lain.

"GEO, GEO, GEO!"

"ORGAN, ORGAN, ORGAN!"

"Woilah organ ngakak anjir," celetuk seseorang membuat pendukung Morgan meliriknya garang.

Keduanya melayangkan pukulan yang sama keras. Kadang kala terjatuh tapi tidak ada yang menyerah malah saling menantang lebih keras.

Hingga suara intropeksi milik Bu Putri berhasil membungkam semuanya. Guru berbadan kurus itu berkacak pinggang geleng-geleng kepala.

"Baru kali ini saya ngeliat sampah tonjok-tonjokkan!" katanya tajam.

Bu Putri berjalan marah ke arah keduanya. Tanpa aba-aba menjewer kuping Geografi dan Morgan yang mukanya sudah babak belur.

Guru tersebut membawa tersangka menuju ruang kekuasaannya. Sedangkan para suporter mendesah kecewa. Acara mereka telah berakhir.

Semua kembali ke kelas masing-masing sambil menceritakan siapa yang paling hebat dalam pertarungan tadi.

Di sisi lain dua orang dalam bangku sama saling lirik-lirikan. Salah satunya merasa heran oleh sikap teman duduknya. Kilat sedari tadi mencak-mencak dan tak ada habis berbicara.

"Sok cantik," cibir lelaki itu.

Dazahra tetap diam. Walau ia tahu Kilat sedang menyindirnya. Dirinya tidak mau membuat masalah oleh pria tersebut.

Brak

Sedikit terperanjat kaget oleh gebrakan meja namun kembali mengatur mimiknya.

"Lo dengar ga sih. Gue bilang lo sok cakep!" Geram Kilat tertahan.

Dazahra mencoba berbalik. Menutup buku yang sebenarnya tidak ia baca,  itu hanya alibi berusaha menghindar dari pria bermata elang itu.

Menaruh pulpen pada meja. Menghela  nafas gusar. "Saya ada salah apa sama kamu?" Dazahra masih mencoba tetap tenang.

"Salah lo banyak. Pertama, harusnya lo sadar muka. Kedua, jadi orang ganjen, sana-sini mau. Dan terakhir lo budek," jelas Kilat mengebu-gebu.

Gadis tersebut mengangkat alisnya. "Kalaupun saya melakukan hal di atas malasahnya denganmu apa?" Sumpah Daza masih tidak habis pikir dengan jalan pikiran teman sebangkunya ini.

Kilat kicep. Ia mengaruk tengkuknya yang tidak gatal, mencoba kembali biasa saja. Masih banyak yang ingin ia kesalkan, tapi mengigat tidak ada alasan spesifik dirinya berniat diam.

Para murid masuk. Kelas yang tadinya sunyi sudah ramai. Semuanya kembali menjalani aktivitas jamkos, paling dominan gibah sebenarnya.

Komang duduk dengan wajah lesu. Kilat yang melihat menepuk pundak sobatnya itu. "Napa lo. Galau amat," ujarnya dibalas gelengan kepala.

Kilat mengangkat bahunya tidak ingi mengetahui lebih. Berniat main game saja.

Beberapa saat Komang berbalik. Bukan menatap Kilat tetapi orang di samping cowok itu. Dazahra bertanya membaca mimik Komang yang seperti ingin memberi tahu sesuatu.

"Kenapa?"

"Teman lo kelahi tadi, sekarang lagi di UKS siapa tau lo mau obatin," jelasnya.

"Teman?" Dazahra masih tidak paham.

Komang berdecak. Ia lupa gadis itu memang lambat loading. "Si itu Geo. Samperin gih," titahnya.

Dazahra yang mendengar tampak ragu untuk menjumpai Geo. Pasalnya kalimat kemarin masih tergiang jelas hingga detik ini. Dirinya menoleh sedikit. Termpampang jelas wajah masam juga lirikan sinis Kilat.

Dengan hati-hati Daza bangkit. Meminta Kilat sedikit memberinya jalan. Ogah-ogahan lelaki itu mempersilahkan. Kemudian keluar kelas.

"Bego lo tai!" umpat Kilat pada Komang. Sedangkan sang korban umpatan tak tahu apa-apa mengerutkan alis heran.

"Gila lo ya. Ga ada salah juga."

Karena sama-sama mood. Kilat dan Komang saling diam. Patah hati beda ekpresi, perasaan yang sama.



Salam balap
anaklorong

M'Daza (di balik jendela) ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang