~Happy Reading 🛵~
Sore hari yang dingin. Ditemani secangkir teh juga gorengan panas. Memantau air deras yang berjatuhan, bunyinya berisik, bau tanah basah menyengat ke hidung. Menimbulkan rasa tentram yang menyambut.
Gelap, ruangan itu tetap gelap walau semua mulai berubah namun kegelapan sangat mengisi harinya. Ia sudah jatuh cinta dengan ruangan hitam tanpa cahaya.
Sekarang ia tengah melihat detik hujan di balik jendela. Sesekali menghirup teh hangat juga menyuapkan gorengan ke dalam mulutnya. Sudah sejam, tetapi dia tak pernah bosan.
Ia menunggu seseorang itu muncul di balik tirai putih. Tidak ada tanda, sampai hujan mulai mereda. Ia mendesah kecewa, apakah di balik jendela benar-benar marah. Ia menggeser gordennya. Turun ke bawah membawa alat makan yang sudah tidak ada isinya.
Dari arah ruang tamu terdengar suara kericuhan. Selesai menaruh, Dazahra berniat melajukan langkahnya menghampiri suara tinggi itu berada.
"Pergi!" teriaknya.
Sementara yang diusir tampak tak bergeming sama sekali. Ia malah semakin nyaman dalam duduknya.
"Pergi!" Radit kembali menaikkan oktaf suaranya. Namun sayang, perlakukan sama ia dapatkan.
Dazahra yang baru sampai terpelonggo. Kedatangan seseorang beberapa hari ini yang sudah tidak berkomunikasi, malah sekarang menghampiri rumahnya.
"Saya mau bicara sebentar sama Daza," ujarnya. Berdiri, kemudian menarik tangan gadis itu menjauh. Radit ingin menyergah tetapi Dazahra menahannya.
Sampailah keduanya, duduk pada kursi yang disediakan di teras rumah itu. Sempat terjadi keheningan hingga lelaki berkaos hitam tersebut membuka suara.
"Ibu mau ketemu sama lo," ujarnya to the point menjelaskan maksud tujuannya datang ke tempat ini.
Dirinya menoleh. Menatap penuh harap pada perempuan manik hitam pekat itu. Sementara Dazahra linglung, rasanya bertemu dengan Hera akan membuat masalah semakin rumit.
Pandangannya menunduk lalu menggeleng singkat sebagai tanda menolak. Cukup tahu, ia tidak mau semuanya menjadi runyam akan hadirnya dia kembali. Biarkan Hera dan Geografi menjalani hidupnya, begitupun dia dan sang Ayah.
Geografi menghela nafas gusar. "Gue mohon sama lo. Ibu kembali drop, seenggaknya temuin dia sekali," pintanya. Kali ini ia menurunkan gengsi tertanam besar dalam dirinya. Demi Hera, kemarin wanita paruh baya itu sudah sehat, namun karena mengetahui semuanya dari Antaka sewaktu temannya itu berkunjung. Hera jadi merasa bersalah yang ada malah membuat pikiran bertambah.
"Bagaimana dengan ayah ku apakah kamu sudah menanyakannya?" Selain tidak ingin masalah bertambah kacau, ia juga takut bahwa Radit malah marah.
Geografi menggeleng. Ia mengacak rambutnya gusar, sudah tidak tahu harus berbuat apa. Ia menatap lamat Dazahra, berharap gadis itu paham maksudnya.
"Tolong, cari cara agar ayah lo izinin. Gue meminta sebagai saudara lo, Daz. Ibu sakit dan cuma kehadiran lo yang bisa balikin semua. Gue lupain kejadian tentang kita, apapun yang gue kecewain gue hilangin, asal lo nemuin Ibu," ujarnya panjang lebar. Sorot matanya terlihat sangat lelah.
Dazahra menghela nafasnya. Ia mengetahui perasaan Geo. Meski pria itu bandel tetapi rasa sayangnya pada Hera sangat terbaca. Perlahan ia mengangguk ragu. Dia harus membicarakan hal ini pada Radit dengan sesedia mungkin.
Geo mengulas senyumnya, menepuk singkat jemari gadis tersebut yang berada di atas meja.
"Peluk lo boleh?" tutur Geo. "Ekhm, sebagai seorang kakak," sambungnya tidak mau Dazahra salah menangkap.
Cewek itu mengiyakan, mereka berpeluk layaknya saudara, menyalurkan rasa hangat. Semua mulai membaik.
***
Dazahra meneliti rumah sederhana di depannya. Mengengam kuat tangan orang di sebelahnya. Jantung berpacu cepat, keringat dingin bercucuran pada dahi juga telapak tangannya.
Pelan tapi pasti mereka berdua masuk ke dalamnya. Harum masakan khas rumah sangat tercium, membuat perut kian bergemuruh menyahut untuk segera diisi.
Setelah aksi perdebatan lama semalam yang berkunjung Radit yang ngambek, sekarang ia telah sampai pada rumah Geografi. Tujuannya kali ini menjenguk Hera, tetapi sepertinya ia sudah sembuh terlihat dengan lihainya perempuan berkerudung itu memasak. Kata Geografi, waktu mendengar bahwa Dazahra menyetujui keadaan Hera membaik sedari tadi.
Ketiganya duduk pada kursi makan. Hera menyambut Dazahra dengan antusias, sedangkan gadis mata hitam itu menampilkan wajah canggungnya.
"Ibu senang kamu bisa ke sini. Setelah semua yang sudah kamu ketahui. Maaf, bukan bermaksud," jelas Hera menatap bersalah.
Dazahra mengeleng. "Ga kok, I-ibu pasti memiliki alasan tersendiri." Ia berkata gugup.
Hera mengangguk benar adanya. "Ayah Geografi adalah sahabat ku, waktu itu kami sedang mengikuti komunitas, ibu kandung Geo juga ikut begitupun dia. Dulu saya sempat ingin membawa Daza namun Radit dengan keras kepala melarang. Tiba suatu waktu, kedua orang tua Geo kecelakaan," tuturnya menjeda.
"Saya bingung, niatnya ingin membawa Geo untuk ikut pulang bersama. Namun gambar yang diterima Radit duluan tersampaikan, menimbulkan kesalahpahaman. Memang benar foto saya berdua Brian, tetapi bukan hanya saya di situ yang lain juga ada. Namanya manusia pasti ada saja yang membenci begitupun saya. Salah satu dari kawan komunitas menyebarkan hal tersebut. Bisa saja Radit tak percaya, tapi na'asnya foto itu juga tersebar satu kantor. Nama saya menjadi jelek dan memutuskan untuk tidak kembali, percayalah Dazahra Ibu sangat menyayangi mu," lanjutnya panjang lebar.
Dazahra mengangguk, ia jadi merasakan apa yang dilewati Hera selama ini. Geografi juga sama, pertama kali mendengarkan sebuah fakta bahwa Hera adalah orang baik yang sedia mengurusnya.
•
•
•Salam balap
Anaklorong
KAMU SEDANG MEMBACA
M'Daza (di balik jendela) ✓
Teen FictionKata orang cinta pertama anak perempuan adalah sang Ayah. Tetapi berbeda dengan Dazahra Aurelia, karena suatu insiden membawanya dalam trauma yang besar. Seorang ayah yang lembut tergantikan dengan pria pemarah tak ada belas kasih. Rumah yang seharu...