One Step Away

5.7K 426 84
                                    

Mimpi itu hanya sebuah lurusan jalan setapak dengan bunga-bunga mawar mekar di sisi-sisinya. Matahari berada di ujung jalan, tenggelam. Awan bewarna ungu dan jingga, senja. Sementara Kim Dokja menjulurkan tangan, meraih punggung sosok yang berjalan menuju matahari. Meninggalkannya bersama malam.

Mimpi.

Ketika terbangun akan ada air mata yang membendung di pelupuk. Karena ingatan dan kenangan, karena sebuah rasa rindu yang abstrak dan tidak beralasan. Kim Dokja tidak mengenalnya, tidak mengingatnya, tapi ia berharga.

Siapa?

Alarm berbunyi lebih lama dari waktu matanya terbuka, Dokja mematikan segera namun masih setia tenggelam dalam selimut. Menimbang-nimbang keinginan untuk terlelap seharian lalu mengingat-ingat surai gagak yang menjauh di dalam mimpi, tapi kehidupan menariknya untuk bangkit dan melanjutkan hidup sebagaimana seharusnya.

Seharusnya?

Dokja tidak ingat hidup yang ia jalani sebelum menjadi pegawai kantoran. Canggung. Tidak memiliki kepercayaan. Penuh trauma. Tidak pernah ada hal seperti keindahan dan rasa bahagia selain...

....selain apa?

Apa yang tidak bisa ia ingat namun sangat berharga?

Tidak ada. Hanya mimpi itu yang membuatnya menjadi sosok yang nyata, hanya mimpi itu yang membuatnya merasa tenang.

"Katanya, kalau mimpi orang yang sama berarti orang itu sedang rindu," Sebuah percakapan tertangkap telinganya dari seberang meja kantin yang ia isi sendiri. Dokja menatap ke sebelah, mendapati gadis dengan rambut tembaga yang tersenyum sebagai sapaan singkat, sebelum kembali berbicara dengan orang di sana.

Matanya yang gelap tidak menangkap, namun Dokja menyimak lamat-lamat dan mengingat baik ucapan yang barusan. Kekonyolan tanpa arti sebab tidak tahu bagaimana rupa di balik punggung itu- tapi ia begitu gundah.

Bukan. Bukan orang itu, tapi Dokja lah yang merindu dan terkubur dalam sepi dunia serta kesendirian mimpi sendiri.

Malam ini. Setelah hari penuh kejenuhan seperti biasa, di balik selimut adalah satu-satunya hal yang ia nanti walau akan berujung pada kehampaan ketika pagi. Tapi tak mengapa, beberapa waktu ketika matahari senja tertutup punggung itu adalah hal yang menyenangkan dalam hitam putih kenyataan.

Dokja melihat lagi. Lebih dekat. Mungkin hanya satu langkah. Mungkin jika ia menggerakkan kaki dan menjulurkan tangan, punggung itu bisa ia raih. Sejumput jubah hitam itu bisa ia genggam.

Mungkin.

Mungkin, jika seluruh indranya tidak fokus pada bayang-bayang yang menjauh, ia bisa menggapai sosok itu bukan hanya dari sekadar kata 'bayang.'

"Siapa?" Dokja memuntahkan suara. Menggunakan seluruh tenaga dari kerongkongannnya hanya untuk bertanya demikian karena seluruh sendinya dikunci mati oleh kekuatan mimpi. "Siapa kau?"

Hanya ada sebuah harapan agar langkah itu berhenti. Agar ia berbalik dan mempertemukan tatapan mereka. Agar Dokja bisa melihat wajahnya. Agar ia bisa menatap matanya.

Dan punggung itu berhenti.

Penuh rasa ragu, menghalangi cahaya matahari menimpa wajah Dokja yang menatap bingung namun penuh pengharapan. Ia tidak berbalik, namun Dokja bisa mendengar bisik yang dibawa angin bersama kelopak-kelopak mawar.

"Aku adalah kau."

Sepi.

Di tempat itu ada mereka berdua, dan suara angin begitu kentara. Namun entah kenapa Dokja merasa ...sepi.

One Step AwayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang