That Summer Saturates

2.1K 227 12
                                    

Dulu sekali, tidak. Baru kemarin rasanya. Ingatan ini, tentangmu dan tentang kita masih sejernih embun di pagi hari yang kian detik kian fana dan sirna. Penghujung musim panas yang menjadi waktu pencarianku akan bayanganmu. Di atas rel kereta yang memuai, di bawah rindang pohon mimosa, diiringi derik kumbang kayu raksasa. Di dalam gubuk tengah sawah, atau di balkon rumah tempat kita mengawali semuanya.

Perkataanmu, yang dengan tangis dan tangan bergetar, datang mengetuk pintu rumahku lalu berbisik tanpa perlu sebuah tanda tanya.

"Aku membunuh seseorang."

Ucapmu.

"Kim Dokja," aku ingat bagaimana getar di tanganmu yang penuh luka merambat di jari-jariku. Air mata menetes dan kuseka untuk memberi rasa tenang, lalu kau menjatuhkan diri ke pelukanku. Meminta dinginnya hujan di awal musim panas agar ikut membasahiku, "Aku di sini."

"Aku tidak mau lagi," katamu, "Aku mau pergi lalu hilang. Aku mau mati."

Aku tahu deritamu. Aku tahu seberapa panjang jembatan berduri yang kau lewati menyeberangi lautan api. Aku tidak memiliki keberanian mencegahmu, tidak memiliki keberanian untuk memberanikanmu, takut untuk mendukungmu menjalani siksaan itu lagi.

"Bawa aku," karena Yoo Joonghyuk hanya manusia yang lemah. "Ke tempat yang jauh, tidak terjangkau, kau dan aku. Ayo lari."

Hanya dengan kata itu kau mengembangkan senyum di tengah tangis. Hanya dengan sebuah ajakan menuju hari-hari pengasingan kau bertingkah seakan lupa dosamu, dosa kita. Mudah sekali mengiyakan, dan tanpa berpikir, kita pergi.

Tas berisi dompet dan beberapa helai pakaian. Aku melihatmu menyimpan pisau di sana. Buku harian berisi potret dan cerita kita kutinggalkan karena aku tahu tidak perlu kenangan menuju kematian. Jika aku bersamamu dan terus bersamamu, Kim Dokja, tidak ada arti dunia yang kekal. Tidak perlu aku pikirkan apapun tentang rumah yang hanya sekadar nama, keluarga yang hanya sekadar tahta, sekolah dan teman-teman yang hanya sekadar panggilan tidak nyata.

Aku juga rusak. Sepertimu. Lebih buruk darimu dan tidak memiliki apapun. Kita tidak punya hal selain diri kita, pelarian kecil kita, mungkin tidak lama atau mungkin juga menjadi selamanya. Aku tidak terlalu memusingkan waktu yang singkat atau abadi karena jika berdua denganmu maka semua akan berarti.

Di langkah kita yang tanpa arah. Di pelukan malam hari yang menjadi teman dan penjaga. Di tempat yang lebih jauh, lebih luas, hanya kita. Mati menjadi impian karena aku tidak ingin bahagia ini hilang. Tidak ingin senyum yang kau ucap sambil merintih di tengah kecupan berakhir sebagai kenangan.

Aku ingin menjadi abadi. Aku ingin kita menjadi sebuah benih yang tumbuh dan mati. Bersama. Apapun yang terjadi. Berdua. Karena kau segalanya. Kau tidak perlu melakukan apa-apa, kau tidak perlu mengingat semua dosa yang mereka paksa untuk kau rengkuh.

Rengkuhlah hanya aku, Kim Dokja. Buang saja semua luka dan derita itu.

Aku memberimu semua pelukan sebab aku juga butuh. Aku mengecupmu sebanyak apa yang kau mau sebab manis di bibirmu membuat candu. Aku merengkuhmu, mendekapmu, mencumbu, dan menyayangimu dengan semua yang tersisa dariku. Manusia tidak berguna dan tertinggal yang hanya bisa membuatmu lupa akan rasa sakit.

Ketika aku menyeka helai-helai hitam yang menutup telingamu, kukecup, lalu aku memanggilmu dengan penuh nada sendu. Kau tertawa. Aku menyukai dirimu yang tertawa. Kau membalas pelukanku sebelum bangkit berdiri, berlari dan melangkah kecil di atas kubangan air sisa hujan kemarin.

Apapun yang kita curi. Dimanapun tempat kita tertidur dan berbaring. Segala ocehan, segala teriakan, kau menyambut semuanya dengan tawa dan memilih lupa. Begitu bercahaya di tengah musim panas bulan Juli. Kau mengajakku ke negeri impianmu, yang kau bangun dalam bayanganmu, yang ada hanya untuk dirimu dan diriku.

One Step AwayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang