The Sun is Going Down - 02

512 61 6
                                    

Musim dingin akan datang beberapa hari lagi. Di malam bulan baru terbit, seluruh dingin kota mati akan menghujam keberadaan kami.

Beberapa hari ini aku sering meninggalkananya di dalam sebuah gua dekat bendungan. Menjaganya aman sementara aku pergi menyusur sebuah desa untuk tempat menetap. Sebab musim dingin mematikan.

Semakin sering aku pergi, semakin sering pula ia menangis. Bersedih. Aku tidak ingin melihatnya begitu.

"Aku takut kau tidak kembali."

Dia pernah ditinggalkan. Di dalam gedung rubuh bersama gelap, putus asa, dan sendiri. Karena tidak ada yang menyayanginya, tidak ada yang ingin bersamanya.

"Aku ingin kita bersama lebih lama," ucapku sambil membelai belakang kepalanya. Ia duduk di atas pangkuanku, memelukku, tenggelam di kedua lenganku. "Jadi aku ingin mencari tempat yang aman."

"Kita harus cari bersama," Ia dan keberaniannya selalu membuatku kuat, "Jadi kita bisa terus bersama, kan?"

Mata hitamnya penuh bintang. Penuh harapan. Satu-satunya mimpi di seluruh kenyataan pahit yang tersebar di dunia. Yang membuatku bisa melihat diriku, hancur dan hidupku. Dia memilikiku.

Aku mengecup keningnya, mendekap erat dan bersumpah dalam hati yang kuharap masih layak memanjat doa, "Ya.."

Tapi Tuhan tidak bersama kehancuran.

Itu adalah pagi terakhir kami mendengar suara tembakan. Aku membangunkannya cepat, membalut tubuhnya dengan mantel bulu lalu menyambar senapanku.

Siaga. Tenang. Aku sudah berada di titik ini beribu kali. Berada di ujung hidup dan mati ke sekian kali. Tapi kenapa ada sebuah hal yang membuatku tidak tenang?

Aku melihat ke arahnya. Ia begitu kecil, begitu rapuh, juga begitu indah. Aku akan menjaganya, sampai kapanpun, bahkan jika jiwaku pecah dan seluruh tubuhku hancur. Bahkan jika Tuhan membenciku dan dunia menentangku, aku akan menjaganya aman. Tidak akan kulepaskan. Tidak akan kutinggalkan.

"Jangan tinggalkan aku, ya?"

Ia bergetar. Bukan sebab apapun yang menyerang kami di balik kabut pagi yang menutup bendungan. Namun sebab takut genggaman kecil kami terlepas, takut sentuhan kami terpisah, takut jika tidak ada lagi kata bersama.

Aku menjawabnya jujur, "Tentu," sebelum membawanya berlari keluar dari terowongan. Berjalan di sepanjang bagian bawah bendungan dan berharap kabut bekerja sama. Namun tidak. Beberapa tembakan kembali terdengar meski bukan mengarah pada kami. Entah siapa yang menembak dan entah siapa yang ditembak, yang kutahu hanya aku harus membawanya keluar dari sini.

Tangga menuju ke atas seratus meter di depan, tapi aku melihat beberapa siluet samar mulai turun dari sana. Kami memutar arah. Turun menuju bagian bawah sungai namun tidak ada aman di sana. Para mayat sudah menanti dan aku harus menembak mereka. Memaksa suara pistol keluar sehingga langkah-langkah kaki yang berlari menuju kami dengan cepat.

Tanganku digenggam, menggenggam. Bahkan jika senapan terlepas, dirinya tidak boleh. Kaki dan tanganku akan kubelah untuknya, jika itu demi dia. Demi sebuah cerita tentang bagaimana helai bunga merah hati jatuh di awal musim semi yang hanya ia lihat dalam mimpi.

Ketika kakiku menginjak tanah yang sama dengan mayat-mayat itu, tembakan menghujani kami. Aku tahu mereka. Para pendendam, pemburu, pembenci, dan pendengki. Musim-musim itu kulalui dengan menghapus jejak dan lari, tapi dunia ini begitu kecil. Rasa aman tidak sulit untuk dicari, dan demikian kami ditemukan.

"Bunuh!"

Suaranya bergema menembus kabut. Aku pura-pura tuli sembari mengangkat tubuh kecil yang mulai lelah berlari. Ia aman di gendonganku, di pelukanku, aku berjanji.

One Step AwayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang