Dengan tujuan berbeda, Winwin dan Ten berpisah di Mall dan berjanjian akan bertemu lagi setelah urusan belanja mereka selesai. Awalnya, Winwin menawarkan untuk menemani Ten berkeliling, namun tolakan darinya membuat Winwin setuju–setuju saja karena memang lebih sedikit memakan waktu daripada berlama–lama saling mengikuti.
Maka saat ini Ten mengedarkan pandangannya ke sekeliling, mengingat–ngingat apa saja yang akan dia beli dan barang apa saja yang membuatnya tertarik untuk dibeli.
Sebelumnya, Ten berinisiatif untuk mencari kemeja baru dan beberapa kaos olahraga untuk acara weekend perusahaan. Tetapi dia teringat bila kemarin si Yuta memberinya saran agar mengganti lampu kamarnya menjadi sedikit terang karena cahayanya sudah hampir redup. Jadilah saat ini Pria itu memutuskan untuk mencari barang tersebut mumpung saja melewati tempatnya.
Ting!
Sebuah notifikasi whatsapp dari ponsel yang dia genggam menghentikan langkahnya. Ternyata sebuah pesan masuk dari Taeyong.
Lanjut, Ten berjalan menuju rak lampu dan memilih watt yang lumayan besar. Setelah itu berjalan lagi menuju barang pecah belah dan mencari–cari dimana tempat sedotan besi diperjualkan.
Tak lama mencari, Ten berhasil menemukan barang yang Taeyong butuhkan dari kejauhan. Tetapi melihat akan ada orang lain yang mengambil sedotan besi terebut, buru–buru langkahnya melebar, berlari sebelum keduluan.
"Saya duluan!"
"Saya duluan ya, Mas!"
Secara tiba–tiba, keduanya terdiam, memandang satu sama lain dalam 5 detik yang membuat jantung Ten seakan berhenti berdetak setelah melihat siapa yang berada dihadapannya ini.
"Velin."
Dan Perempuan itu bisa dengan jelas mendengarnya, mendengar Ten yang memanggil lirih namanya, memandang Ten yang tidak berubah sama sekali sejak terakhir kali bertemu saat hari kelulusannya.
"Kak Ten?"
Buru–buru mereka berdua melepaskan tautan tangan dari sedotan besi tersebut. Memandang kearah lain sebelum akhirnya bertemu lagi netra keduanya satu sama lain. Terasa canggung, terutama Velin yang dipandangi terlalu serius oleh Pria di hadapannya ini.
"Maaf, boleh Aku yang ambil sedotannya? Soalnya ini titipannya Taeyong... Ah bukan, buat Mamanya yang lagi sakit, jadi... Aku harus beliin ini, boleh?"
Lidahnya kelu, tidak tau harus menjawab apa karena rasa canggungnya saat ini. Dalam hati sih Ravelin mengiyakan saja, tapi entah kenapa kata–katanya tidak bisa keluar seakan mulutnya membisu secara mendadak.
"Iy— Ya! Boleh boleh, silahkan." Pada akhirnya Perempuan itu dapat melontarkan apa yang akan dia katakan, lalu segera membalikkan badannya, berniat untuk cepat–cepat pergi dari hadapan Ten.
"Velin!"
Aduh, mau apa lagi sih ini cowok? Batinnya menahan gugup.
"Iya?" Lantas setelah itu Ravelin berbalik, menaikkan kedua alisnya sambil menunggu Ten yang masih belum membuka suara setelah belasan detik dia menjawab.
"Itu,"
"Kamu ganti no. Whatsapp?""Leh, amnesia lo? Yang ngeblock no. gue duluan juga siapa, anjir?"
"Iya, Kak.""Kalo Aku add nomer kamu lagi, boleh?"
"Yeee, enak banget lo minta–minta no. gue lagi."
"Maaf Kak, Saya lagi buru–buru. Pacar Saya nunggu di parkiran.""Pacar? Kamu kesini sama Kun?"
"Anjing, bisa–bisanya gue lupa kalo ini cowok sekomplotan sama Kun juga."
"Bukan, Kak. Maaf tapi lain kali saja mengobrolnya, permisi."Tanpa menoleh lagi kebelakang, Ravelin terus berjalan menuju kasir, meninggalkan Ten yang masih berdiri mematung disana, sembari memperhatikan Perempuan itu dari kejauhan.
"Lo memang bukan lagi Ravelin yang dulu suka gue, tapi lo tetep Ravelin yang bakal terus ingat nama Ten sepanjang kisah percintaan lo bersama cowok lain."