one

2.2K 149 12
                                    

Doraemon and its characters belong to Fujiko Fujio

Story belongs to Aya Kaizumi

This work is dedicated to Aphin and is shared online for free

.

.

"Nobita, bangun! Sudah waktunya pergi ke sekolah!"

Nobita mengerang. Ia menarik kakebuton-nya sampai menutupi seluruh tubuhnya dan bergumam, "Lima menit lagi, Bu ..."

"Nobita!"

Ugh, kenapa, sih, ibunya selalu berteriak-teriak seperti ini? Apa salahnya tidur sedikit lebih lama?

"Ngg ... sudah kubilang, sebentar lagi ..."

"Kalau tidak mau bangun, akan kucium, lho."

"Aku—" sebelum kalimat protesnya tuntas, Nobita sudah keburu membuka mata.

'cium'?

Sejak kapan ibunya memakai cara seperti itu untuk membangunkan Nobita?

Lalu, ia merasakan tangan besar seseorang menempel pada pipinya. "Nobita, ayo bangun."

Jantung Nobita tersentak.

Itu bukan Ibu!

Cepat-cepat Nobita menyingkap kakebuton-nya, hanya untuk menyadari seseorang tengah berbaring di sebelahnya dengan senyum lebar.

"Ah, kau bangun juga," kekehnya. "Sayang sekali. Padahal aku tadi betulan mau menciummu."

Nobita terlonjak kaget. Nyaris saja tubuhnya terjengkal keluar dari futon.

"G-Giant?!"

Giant terkekeh lagi. "Kenapa? Kaget karena dibangunkan suamimu untuk pertama kalinya?"

Nobita membelalak.

Suami?

Kesadaran langsung menyapu kepalanya saat itu.

Ia sudah bukan anak SD lagi, dan tempat ini bukanlah kamarnya.

Ia yang sekarang adalah seorang laki-laki dewasa yang tidur di kamar penginapan bersama suaminya dalam rangka merayakan bulan madu berduaan.

"Oi, Nobita." Suara Giant membawanya kembali pada realitas. "Jangan melamun terus."

Pipi Nobita sontak memanas. "Aku tidak melamun."

"Kalau begitu kenapa kamu kaget sekali melihatku?" Wajah Giant semakin dekat dengan wajahnya, dan sekalipun Nobita tidak bisa melihat wajah pria itu dengan jelas tanpa kacamatanya, jantungnya langsung berdebar dua kali lipat lebih cepat. "Memangnya kamu berharap melihat siapa di sini?"

Nobita cepat-cepat memalingkan wajah. "Aku cuma terbawa mimpi, kok." Tangannya mendorong dada Giant. "Sudah, dong, jangan dekat-dekat begini."

Tapi dasar Giant. Bukannya menurut, ia malah makin mendekat. "Memangnya salah, ya, kalau aku mau dekat-dekat dengan suamiku sendiri?"

"Bukan begitu, tapi—" Nobita benar-benar kesal kalau Giant sudah begini. Bukan hanya karena ia terlalu keras kepala, tapi Nobita jadi kehilangan kemampuan berkata-kata. "—ugh, harusnya kamu tahu maksudku."

Tawa Giant meledak. "Iya, iya." Ia mengacak-acak rambut Nobita lagi. "Sana cuci muka dulu. Sebentar lagi kita sarapan."

Nobita hanya menggerutu. Ia menggapai kacamatanya dengan satu tangan dan memakainya—

—hanya untuk menyadari kalau itu adalah ide buruk.

Sebab dengan kacamata, ia bisa melihat wajah Giant dengan jelas, dan hal itu justru membuat jantungnya makin berlompatan.

Nobita menggerutu dalam hati. Ini sama sekali bukan cara yang bagus untuk bangun di pagi hari.

.

.

Mereka memilih untuk berbulan madu di sebuah ryokan kecil yang sepi pengunjung.

"Rasanya seperti rumah sendiri," canda Nobita. "Pemandangannya bagus dan pelayanannya ramah. Tidak kusangka kita bisa menemukan tempat seperti ini."

"Kenapa? Terlalu betah untuk pulang ke rumah?"

"Bisa dibilang begitu," keluh Nobita. "Habisnya, begitu kita pulang nanti, kita harus kembali bekerja, kan?"

Giant menghela napas keras-keras. "Oh, benar. Kerja," erangnya. "Menyebalkan sekali."

Nobita tertawa kecil. "Yah, mau bagaimana lagi? Kita bukan Suneo yang bisa bermalas-malasan tapi tetap dapat uang setiap harinya."

Giant hanya cemberut sembari menggeser fusuma.

Seorang pelayan sudah bersimpuh di sisi fusuma saat keduanya memasuki ruang makan.

"Selamat pagi, Goda-san," sapanya. "Sarapan Anda berdua sudah siap."

"Ah." Nobita menggaruk pipinya yang terasa panas dengan salah tingkah. "Terima kasih."

Rasanya aneh juga mendengar pelayan penginapan itu menyapanya seperti itu. Kesannya seperti menjadi orang yang sama sekali berbeda.

Tapi Giant terlihat lebih tenang (tentu saja, nama keluarga itu sudah melekat pada dirinya sejak lahir). Dengan cengiran, ia mengucapkan 'trims' dan bergegas mendatangi meja makan yang sudah dipenuhi dengan menu sarapan mereka pagi ini.

Tapi baru setengah jalan, ia langsung sadar kalau Nobita berjalan lambat-lambat di belakangnya. Ia langsung mendecak tak sabar dan menarik lengan Nobita. "Ayo, dong! Makanannya akan keburu dingin kalau kita tidak cepat-cepat!"

Nobita tersentak, tapi langsung menggeleng geli setelahnya.

Sudah bertahun-tahun berlalu, tapi Giant masih saja seperti anak-anak. Matanya yang berbinar saat melihat makanan persis seperti yang selalu Nobita ingat sewaktu mereka masih SD.

Nobita langsung bertekad untuk belajar memasak begitu bulan madu mereka berakhir. Mungkin akhir pekan nanti, ia bisa minta bantuan ibunya.

"Oi, kenapa senyum-senyum begitu?" Sentilan lembut mendarat di dahinya. Giant memandangnya dengan dahi berkerut. "Kalau kamu melamun saja, jatahmu akan kumakan, lho."

Nobita terkesiap.

Bukan karena sentilan itu, tapi karena piring dan mangkuk Giant sudah hampir ludes—padahal baru beberapa menit berlalu sejak mereka duduk di sana.

"Giant, kamu yakin tidak menumpahkan makananmu tadi?" tanya Nobita dengan nada terpana. "Atau apa ada kucing di sekitar sini yang kamu beri makan?"

Giant menatapnya seolah-olah Nobita baru saja mengatakan hal terkonyol yang pernah ada. "Mana mungkin, kan," gerutunya dengan mulut penuh. "Aku lapar sekali, tahu. Yang semalam itu bikin capek."

Nobita jadi menyesal sudah bertanya. Pikirannya langsung dipenuhi dengan apa yang terjadi semalam.

Sungguh ajaib ia bisa bangun dan berjalan dengan benar setelah menghadapi 'kegarangan' Giant semalam.

Ia cepat-cepat memiringkan posisi makannya supaya Giant tidak bisa melihat mukanya yang merona. "Jangan bicara soal yang seperti itu sambil makan."

"Kenapa? Bukannya tadi kamu tanya?" Tapi tampaknya Giant tidak begitu peduli soal jawaban Nobita, karena detik berikutnya ia sudah sibuk menyeruput sisa kuah sup misonya dengan dan bersendawa keras-keras setelahnya. "Ah, akhirnya perutku tidak berisik lagi!"

Nobita tidak bisa tidak tergoda untuk menoleh padanya. Melihat Giant yang menyandarkan punggung ke dinding sambil menepuk-nepuk perut, entah kenapa, membuat dadanya terasa hangat.

Sungguh, begitu pulang nanti, ia akan langsung belajar memasak, supaya ia bisa terus-terusan melihat ekspresi Giant yang seperti itu.


Glosarium

Kakebuton: penutup futon, biasanya digunakan sebagai selimut.


Ryokan: tempat penginapan tradisional Jepang


Fusuma: panel berbentuk persegi panjang yang dipasang vertikal pada rel dari kayu. Panel ini dibuka dan ditutup dengan cara didorong. 

[COMMISSION] Shitto-GiantNobi fanficTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang