three

925 110 1
                                    

Giant paling tidak suka menghabiskan waktu sendirian di rumah.

Kalau dulu, ia selalu bisa memaksa anak-anak yang lain untuk ikut bermain dengannya, tidak peduli mereka sedang sibuk atau malas. Tanpa basa-basi, ia akan selalu berteriak-teriak di depan rumah mereka, mengajak—atau bahkan memaksa—mereka ke lapangan untuk main dengannya sampai malam.

Tapi sekarang dia sudah tidak bisa begitu. Dia tidak bisa begitu saja mendatangi teman-temannya dan memaksa mereka mengikuti apa pun yang dia mau.

Ah, seandainya saja dia bisa, dia akan dengan senang hati kembali ke masa kanak-kanaknya.

"Tapi kalau begitu aku jadi harus mulai dari nol lagi," desah Giant. "Dan kalau aku betulan bisa memutar waktu, mungkin nasib tidak akan sebaik itu padaku."

Mungkin mendapatkan Nobita akan jadi hal yang mustahil buatku.

Giant mengubah posisi tidurnya dan menghela napas lagi. Ranjang ini seharusnya terasa lebih nyaman dari futon sempit yang mereka tiduri selama bulan madu, tapi tanpa Nobita, rasanya malah lebih tidak enak. Seperti masakan yang tidak diberi garam. Hambar.

Tatapan Giant beralih dari tempat tidurnya ke jam dinding. Masih pukul sebelas siang. Mungkin Nobita baru akan pulang waktu tengah malam, dan mereka hanya bisa benar-benar bertemu besok pagi—paling baik satu sampai dua jam sebelum Nobita meninggalkannya lagi.

"Satu sampai dua jam," gerutunya. "Padahal dia akan menghabiskan lebih dari setengah hari dengan Dekisugi di kantor. Benar-benar adil."

Kalau Giant harus terus-terusan dihantui oleh pikiran itu sepanjang minggu, mungkin dia bisa kehilangan kewarasannya.

Ia menendang selimutnya dengan kesal. Berbaring saja tidak akan membuatnya merasa lebih baik. Dia harus melakukan hal lain supaya pikirannya tidak terus-terusan menciptakan imajinasi yang tidak-tidak. Mungkin dia bisa memasak sesuatu untuk makan siang dan menonton TV sampai sore, lalu main game beberapa putaran sampai waktunya makan malam, lalu—

Rangkaian pikiran itu langsung buyar ketika ponsel Giant tiba-tiba berdering.

Dari Nobita!

Giant langsung beranjak bangun dan menyambar ponsel itu, hanya untuk dikecewakan oleh nama yang tertera di layar.

"Suneo?"

Kenapa dia tiba-tiba meneleponku?

Dengan alis berkerut, Giant menekan tombol 'jawab' dan suara Suneo langsung memenuhi kupingnya. "Hei. Kenapa lama sekali menjawabnya?"

Giant mendengus. "Kau kira aku terus-terusan memegang ponsel?" gerutunya. "Dan tumben kamu meneleponku. Kenapa? Tidak ada yang bisa kau ajak bicara di Amerika?"

"Lucu juga kau bilang begitu," kekeh Suneo. "Memangnya kamu lupa kalau aku sudah kembali ke Jepang sejak seminggu yang lalu?"

"Eh?" Giant mengerjap kaget. "Masa?"

Suneo terkekeh lagi. "Tapi aku tidak bisa menyalahkanmu. Bulan madumu dengan Nobita pasti seru sekali sampai-sampai kamu melupakan yang lain."

Kalau situasinya berbeda, Giant pasti akan membalas Suneo dengan balik meledeknya, tapi mendengar nama Nobita disebut-sebut hanya membuat kekesalannya memuncak lagi. "Hmm."

Tampaknya Suneo menyadari perubahan suasana hati Giant, karena nada suaranya langsung berubah cemas. "Kenapa? Apa bulan madunya tidak selancar yang kau kira?"

Giant mendesah. "Bukan begitu."

"Lalu? Apa kalian langsung bertengkar sepulang bulan madu?" Suneo menebak sok tahu. "Kuberi tahu ya, seharusnya kalian sama-sama mengalah. Kalian baru sebulan menikah. Seharusnya kalian menjaga supaya suasananya tetap segar."

"Itu juga aku tahu, sialan," tukas Giant. "Kalau tidak tahu apa-apa, diam saja."

Tapi Suneo yang sekarang jauh lebih kebal dari dulu. Dia bukan lagi Suneo yang selalu ketakutan pada Giant, atau Suneo yang hobi menjilat Giant supaya Giant tidak marah padanya. "Kalau begitu kau yang cerita, dong," katanya. "Sia-sia saja kalau kamu marah-marah tapi dipendam terus. Kecuali kalau kamu bermaksud bicara pada Nobita saja—"

"Suneo," potong Giant. "Siang ini kau punya waktu?"

"Hah?"

"Kalau kamu meneleponku, kamu pasti mengajakku bertemu, kan?" Giant melirik jam dinding lagi. "Kalau begitu, sekalian saja kita makan siang bersama."

Suneo terdengar ragu-ragu saat menjawab, "Dengan Nobita?"

"Mana mungkin, bodoh. Dia sedang bekerja." Dahi Giant berkerut lagi. "Jadi bagaimana? Kau mau atau tidak?"

"Kalau kau memaksa, aku juga tidak bisa menolak, kan?" Suneo mendesah. "Kalau begitu jam setengah dua siang kita bertemu di kedai ramen dekat gedung SD. Bagaimana?"

"Deal."

"Sip. Oh," Suneo cepat-cepat menambahkan, "jangan lupa. Kau berutang cerita padaku."

"Aku siap cerita apa pun, asal kau yang bayar semuanya."

Bahkan tanpa melihat Suneo ia bisa membayangkannya nyengir lebar. "Deal."


[COMMISSION] Shitto-GiantNobi fanficTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang