eight

719 82 8
                                    

Pada akhirnya, Nobita sama sekali tidak makan.

Dia mencoba mengisi perutnya, tentu saja. Mengingat pekerjaannya yang menumpuk sepanjang hari ini, seharusnya ia merasa lapar. Apalagi Dekisugi sudah repot-repot membelikannya ramen, dan rasanya tidak sopan untuk tidak memakannya.

Masalahnya, apa yang terjadi barusan membuat selera makannya lenyap begitu saja. Memaksakan diri untuk menghabiskan ramennya hanya akan membuatnya mual, dan bukan tidak mungkin kalau Nobita malah memuntahkan isi perutnya gara-gara itu.

Dekisugi sepertinya juga memahami kebimbangan Nobita, karena ia langsung menceletuk, "Tidak usah dipaksakan kalau tidak tahan."

Nobita mengangkat wajah. "Tapi kamu sudah membelikannya—"

"Aku tahu," potong Dekisugi lembut. "Dan aku tidak ingin kamu membiarkan perutmu kosong setelah selama ini, tapi aku juga tidak bisa memaksamu, kan?"

Nobita mendesah lagi. Seandainya saja Giant bisa perhatian seperti Dekisugi, mungkin masalah ini tidak akan terjadi.

"Nobita?" panggil Dekisugi. "Apa kau mau kita pergi ke rumah makan yang lain?"

Nobita cepat-cepat menggeleng. "Tidak perlu," katanya sembari memaksakan senyum, walaupun senyumnya langsung susut saat ia tak sengaja bertatapan dengan Giant.

Kenapa dia tidak ke sini?

Apa dia lebih suka bersama Suneo daripada bersamaku?

Pikiran itu membuat dada Nobita seperti diremas. Ia mencengkeram pinggiran meja kuat-kuat, tapi denyut sakit di telapak tangannya tetap tidak bisa mengenyahkan pikiran buruk di dalam kepalanya.

Dengan gemas, Nobita langsung menjejalkan ramen banyak-banyak ke dalam mulutnya dan menelannya sekaligus. Jangan sampai perutnya jadi ikutan mengamuk.

Dekisugi mengamatinya dengan lega. "Ternyata kamu masih punya selera makan, ya."

"Hmm?" Nobita baru saja menyuapkan ramen lagi. Untung saja ia tidak tersedak saat cepat-cepat menelannya. "Kurasa begitu."

"Mau tambah?"

Nobita menggeleng. "Ini saja sudah lebih dari cukup," katanya.

Dekisugi tersenyum. "Memang lebih baik marah-marah daripada bersikap pasrah," katanya.

"Kenapa begitu?" tanya Nobita dengan mulut penuh. "Bukannya keduanya sama-sama buruk?"

Dekisugi menggeleng. "Marah adalah reaksi yang menunjukkan kalau kamu masih berharap untuk punya nasib yang lebih baik," katanya. "Dengan marah, kamu berusaha untuk memperbaiki apa yang salah di matamu."

Kunyahan Nobita langsung berhenti pada kata-kata itu. Selama ini, ia selalu berpikir kalau marah adalah reaksi yang egois. Dia tumbuh besar dengan seorang ibu yang suka marah-marah, jadi menurutnya marah bukan cara yang benar untuk menyelesaikan masalah.

Tapi setelah Dekisugi bilang begitu, ia baru tahu kalau marah bisa memiliki makna yang berbeda.

Sekalipun begitu, rasanya ganjil untuk menelan nasihat itu bulat-bulat. "Tapi bukannya marah hanya akan memperburuk situasi?"

Dekisugi tertawa kecil. "Bisa, kalau logikamu jadi terganggu gara-gara itu," katanya. "Tapi selama kamu masih bisa berpikir dengan jernih dan mencoba untuk mendengarkan orang lain, itu bisa dihindari dengan mudah."

Nobita jadi ikut tertawa. "Kau cocok jadi konselor."

"Oh ya? Aku cuma mencoba menerapkan bagaimana cara kerjaku selama ini." Dekisugi meneguk minumannya sebelum menambahkan, "Pokoknya, selama kalian berdua berusaha untuk menyelesaikan masalah ini, semuanya akan baik-baik saja."

[COMMISSION] Shitto-GiantNobi fanficTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang