two

1.2K 131 2
                                    

Nobita tidak bisa menahan senyumnya setiap kali ia teringat pada apa yang terjadi selama bulan madu.

Bahkan pagi ini, Nobita memutuskan untuk berangkat ke kantor lebih cepat.

"Kamu kelihatan ceria, Nobita," Dekisugi berkomentar. "Kenapa? Masih terbawa euforia bulan madu kemarin?"

Nobita terlonjak kaget. "B-bukan, kok!"

Dekisugi terkekeh. "Tidak usah bohong begitu," katanya. "Tidak ada yang salah dengan terlihat senang setelah bulan madu, kan? Jadi pengantin baru pasti pengalaman yang sangat mendebarkan untukmu."

Ujung-ujung bibir Nobita otomatis tertarik membentuk senyum. "Mendebarkan, ya," gumamnya. "Kurasa memang begitu."

Dekisugi tertawa lagi. "Kalau begitu, seharusnya kau punya cukup energi untuk bekerja lembur hari ini."

Senyum Nobita menyusut secepat ia muncul.

"Apa?"

.

.

"Kerja lembur?" tanya Giant tak percaya. Berkali-kali ia menepuk-nepuk kupingnya untuk memastikan kalau ia tidak salah dengar. "Yang benar?"

Dari ujung telepon, ia bisa mendengar Nobita mendesah. "Aku juga sama tidak percayanya denganmu," keluhnya. "Tapi sampai minggu depan, aku terpaksa harus tinggal sampai malam untuk menyelesaikan proyek baru kantor."

Giant mengerang. Kalau saja ia tahu jadinya seperti ini, dia tidak akan membiarkan Nobita pergi ke kantor. "Lalu aku bagaimana? Masa aku harus menghabiskan sepanjang minggu sendirian?"

"Maafkan aku, tapi semuanya akan berakhir setelah seminggu."

"Pasti rasanya akan lama sekali."

Nobita menghela napas lagi. "Aku tahu."

Kemudian hening. Giant sampai harus berdeham untuk mencairkan jeda yang canggung itu. "Tapi makan malammu bagaimana? Apa aku perlu pergi ke kantormu dan mengantarkannya—"

"Oh, kalau itu tidak usah khawatir!" kata Nobita. Kali ini, nadanya terdengar lebih ringan. "Dekisugi sudah memesankan katering untuk kami setiap malam untuk satu minggu ke depan, jadi urusan soal makan malamku sudah pasti beres."

Alis Giant otomatis menukik.

"Tunggu—Dekisugi?!" tanyanya. "Kenapa bisa ada dia?"

"Eh? Memangnya aku belum pernah cerita?" Nobita balik bertanya dengan heran. "Dekisugi itu kepala divisiku."

"Kepala ... divisi?"

Dahi Giant berkerut keras sekali sampai kepalanya sakit. Kalau diingat-ingat, Nobita memang pernah menyebut-nyebut soal Dekisugi dan pekerjaannya, tapi ia tidak pernah menyangka kalau mereka bekerja di kantor yang sama—dalam divisi yang sama, pula!

Gigi Giant mengertak. Dari semua orang, kenapa harus Dekisugi?

Sejak dulu, Giant tidak pernah benar-benar menyukai Dekisugi. Dia mungkin orang yang baik, tapi kebaikan itu—dicampur dengan otaknya yang super encer—menjadi perpaduan yang membuat Giant gelisah. Dulu, ia selalu memasang lagak bangga setiap kali mendapat nilai jelek dan memusuhi siapa pun yang nilainya mendekati nilai Dekisugi.

Tapi saat itu ia masih sangat kekanak-kanakan. Giant yang sekarang sadar kalau sikapnya di masa lalu tidak lebih dari ketololan. Sementara Dekisugi terus memanjat naik, Giant harus mati-matian mencoba untuk membuat anak-anak berhenti takut padanya—terutama Nobita.

"Giant?"

Suara Nobita menyentak Giant kembali. Ia cepat-cepat berdeham. "Kalau Dekisugi kepala divisimu, kenapa kamu tidak izin pulang cepat saja?"

[COMMISSION] Shitto-GiantNobi fanficTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang