11: Merubah alur?

1.6K 136 8
                                    

Sudah jelas bukan?

Ending dari novel ini sudah hampir terlihat jelas oleh Shinta. Jadi, seaneh apapun Dewa tadi pagi, itu tetap tidak akan merubah alur novel.

"Sejak kapan Dewa ngebolehin elo duduk di jok belakang motornya?" Tera bertanya. Kejadian tadi pagi menyebar dengan begitu luasnya.

Shinta berdecak. Selain Liana, Dewa memang tidak memberikan ijin orang lain duduk di jok belakangnya. Khusus. Tentu saja. Itu motor kesayangan Dewa. Di beli dengan uang tabungannya sendiri.

Dewi tidak pernah diijinkan untuk berboncengan dengan Dewa. Jika Dewi merengek, membawa-bawa nama orang tua, Dewa lebih memilih mengalah. Menaiki mobil dengan tidak ikhlasnya. Ya, Dewa sama sekali tidak membiarkan Dewi menaiki motor kesayangannya.

Shinta diam, merenung. Dirinya dan Tera sedang berada di perpustakaan sekolah, saat ini sedang jam istirahat. Shinta tidak ingin pergi ke kantin. Itu akan mengundang banyak mata yang memperhatikannya. Bukan hanya mata tentunya, mulut julid mereka pasti juga akan bekerja.

Shinta menatap Tera sejenak. Entah mengapa dia merasa Tera mengetahui banyak hal. "Lo bukan penguntit kan?" Matanya menyelidik, menatap tajam Tera di sampingnya.

Tera menggeleng-gelengkan kepalanya. Wajahnya terkejut.

Shit!

Sekarang, Shinta tau alasan Zindy selalu menempel kepada dirinya. Mencari informasi. Seperti yang dilakukan Tera kali ini. Dalam cerita ini, Tera belum menyelesaikan novelnya. Entah akan selesai kapan, Zindy tidak menceritakan itu.

Shinta masih menatap tajam Tera. Dia mengepalkan tangannya. "Enyah!" Shinta mengusir. Sebal sekali rasanya kehidupan kita di tulis dua kali. Dan tetap dijadikan pemeran sampingan.

Shinta memejamkan matanya. Pusing, kesal, pengen muntah, ah Shinta tidak dapat menjelaskan dengan baik apa yang dia rasakan belakangan ini.

Dia pernah sekali membaca cerita tentang transmigrasi. Tapi, dia hanya membaca dua bab awal. Tidak melanjutkan cerita itu. Jadi, Shinta tidak pernah tau ending dari orang yang masuk ke dalam novel.

Akan berakhir seperti apa kisahnya?

Bagaimana penyelesainnya?

Shinta tidak pernah tau itu. Seketika, dia menyesal tidak pernah menyelesaikan bacaan novel itu. Ah, novel itu milik siapa? Bahkan, Shinta tidak ingat sekarang.

Tera masih berada di samping Shinta, dia belum pergi seperti yang Shinta katakan tadi. Sekarang, dia lebih tertarik melihat gelagat Shinta yang begitu aneh.

Shinta membuka mata, menoleh ke arah Tera. "Di sini, ada novel tentang transmigrasi gak ya?"

Tera menggeleng. Diam sejenak. "Nggak ada, cuman cerita rakyat dan buku-buku non-fiksi."

".... kenapa emangnya?"

"Pengen baca."

"Seriusan? Seorang Dewi Maharani?"

Shinta mendengus sebal. Dia itu Dewi Shinta, bukan Dewi Maharani.

"Lo, pernah baca tentang novel itu?" Shinta lebih memilih bertanya daripada menanggapi kalimat Tera tadi.

Tera menggeleng. "Gue sih, kalo baca belum. Tapi kalo nonton pernah. Eh, bukan transmigrasi ke novel sih. Tapi pergi ke masalalu, dan yeah... Bikin sesek napas."

Shinta masih menunggu kalimat Tera.

"... Sad ending."

Shinta tersenyum hambar. Agaknya, dia sudah tau cerita ini akan berakhir seperti apa. Tapi, mengapa dirinya terus-menerus menyakinkan bahwa dia bisa merubah alur cerita?

Ya, seperti tadi. Yang perlu dilakukan Shinta adalah optimis.

Optimis tidak dapat merubah alur.

°°°°°°°°°°°°°°°°°°

Shinta agaknya tau kesalahan apa yang dia perbuat selama ini.

Dia hidup sebagai Dewi Shinta, bukan sebagai Anastasia Dewi Maharani. Mungkin, itu yang membuat dirinya merasa terbebani hingga sekarang.

"Ikuti alur, ketabrak dan gue kembali." Itu yang menjadi pemikiran Shinta belakangan ini. Ya, yang perlu dilakukan hanya mengikuti alur saja bukan?

Tapi, yang masih jadi pertanyaan itu, Dewi selamat dari kecelakaan atau tidak?

Jika selamat, maka itu akan menjadi bencana baru bagi Shinta. Yang kemungkinan besar, dia tidak dapat kembali ke dunianya.

Tapi, tunggu dulu.

Shinta terpikir akan satu hal. Dia meneguk ludah. Apa benar di dunia nyata dirinya masih hidup? Bisa saja kan kalau dia sudah meninggal dan arwahnya dibawa ke dimensi ini?

Aduh, jika memang benar begitu sebenarnya Shinta lebih memilih Isekai yang berkekuatan over power saja lalu membantai para musuh-musuhnya, bertarung setiap hari! //Efek nge-wibu baru 2 mingguan.

Shinta menepuk keningnya pelan. "Moga aja Dewi mati, dan cerita ini berakhir. Nggak kebayang kalo Dewi hidup dan gue yang lagi mengisi Dewi harus menjalani hidup dengan penuh penderitaan. Nggak siap. Gue bener-bener nggak siap." Shinta menggelengkan kepalanya sambil memejamkan mata.

Saat ini, dia tengah berada di atas rooftop sekolah. Sore akan segera berakhir dan berganti malam.

Shinta membuka matanya, dia berdiri tepat diujung Rooftop. "Siap mati aja kali ya?" Dia bermonolog. "Tapi, bunuh diri itu katanya sakit." Shinta menggigit bibir. "Ah, kan baru katanya, dicoba aja kali ya?" Shinta mengelap air matanya yang tiba-tiba jatuh. Dia benar-benar merasa gila sekarang.

Shinta menengadah, menatap langit. "Langitnya indah banget lagi, sunset." Shinta tersenyum. "Ya, orang mati itu diibaratkan warna kuning kan? Tapi gue beda, gue diibaratkan warna jingga. Hehehe, lebih pekat." Shinta menyeka air mata yang turun kembali. Sepertinya, air mata ini tidak akan pernah berhenti.

"Nah, satu-satunya cara buat ngeberhentiin nih air mata adalah, lom-" kaki Shinta melangkah, salah satu kakinya sudah berada di udara.

"Pat."

Gedebukk!!!

"Aduhhhhh!" Shinta memekik. Mengusapi pinggangnya yang terasa nyeri. Dia melihat ke atas.

Dewa.

Dewa menarik tasnya ke belakang sehingga dia terjatuh.

"Sakit bego!" Shinta mengumpat, dia berusaha berdiri. Sedangkan Dewa, seperti biasa, dia menatap datar Shinta.

"Lo yang bego." Dia mencengkeram lengan Shinta lalu menariknya.

"Apa-apaan sih!" Shinta mendesis kesal. Dewa masih diam.

Shinta sedari tadi menggerutu sebal. Dewa menariknya menuju parkiran motor. Ah, Shinta baru teringat, tadi dia berangkat ke sekolah bersama dengan Dewa.

Bertanggung jawab sekali cowok di depannya ini.

"Kucel." Dewa segera memakai helm.

Sedangkan Shinta diam sejenak. Kucel? Apa yang kucel? Wajahnya yang kucel? Shinta mengelap wajah, ah masih ada bekas air mata ternyata.

Shinta mendesis, lalu mengelap bekas air mata di wajahnya dengan kasar. Setelah itu, dia menaiki motor sport milik Dewa.

Ah, satu hal ini mampir di kepala Shinta.

Kenapa Dewa lagi?

**********
Kamis, 15 Desember 2022

MUTUALTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang