10: Terombang-ambing

1.7K 144 10
                                    

Kembali ke masa sekarang.

Shinta pulang bersama Dewa larut malam.

"Kok berhenti?" Shinta bertanya kala Dewa mematikan motornya 5 meter dari gerbang rumah.

"Mau ketahuan?"

Shinta menggeleng. Tentu saja tidak.

"Tapi, kalo ketahuan, kira-kira hukumannya apa ya?" Shinta bergumam. Dan Dewa berdecak, menatap Shinta dengan datar sejenak.

"Gue dihukum."

"Ya. Nasib jadi anak cowok." Shinta membalas sekenanya. Seingatnya, Dewi benar-benar diberlakukan layaknya tuan Puteri oleh kedua orang tua Dewa.

Dewa mengumpat pelan, dia mendorong motor. "Keluar lewat mana?"

"Hah?" Shinta tidak konek. Apanya yang keluar lewat mana? "Maksudnya?"

Dewa menghela napas. Memejamkan matanya sejenak. "Tadi, Lo keluar rumah lewat mana?"

"Ooh. Ngomong yang jelas kaya gitu dong. Ngirit banget kalo ngomong. Suara Lo juga nggak bakalan abis kok." Shinta menggerutu.

Dewa hanya menatap datar. Tapi dia masih menunggu jawaban dari Shinta.

"Gue lewat jendela kamar. Ada pohon di deketnya." Shinta menjelaskan, tidak tahan di tatap datar oleh Dewa. Ya, cowok itu sejak tadi memang tidak memakai helm-nya.

"Nggak di kunci?"

"Nggak."

Setelah meletakkan motornya secara pelan, Dewa berjalan menuju pohon yang hampir dekat dengan balkon kamar Shinta.

"Manjat? Gue nggak bisa." Shinta bisa turun, tapi dia tidak bisa naik.

Dewa tak menghiraukan dirinya lantas naik ke pohon. Shinta berdecak, ikut naik ke pohon. "Harusnya siapin tangga." Shinta mengomel.

Sedangkan Dewa berkonsentrasi naik ke balkon.

Hap!

Dewa sudah berada di balkon. Tersenyum lebar, melambai lalu berjalan menjauh.

Shinta membuka mulutnya. Ingin berteriak. Lalu, dia mengelus dadanya. Mencoba menangkan diri. "Sabar, gue itu cantik kok." Shinta memilih duduk di pohon. Dia takut untuk memanjat naik ke balkon.

"Mbak Kunthi, pinjem tempatnya. Gue mau simulasi jadi elo." Dan Shinta, lebih memilih memejamkan matanya.

Benar-benar keajaiban.

Mau tau sesuatu tidak? Bangun-bangun, Shinta sudah berada di dalam kamarnya. Tertidur dengan nyenyak, memeluk guling.

"Wah, mbak Kunthi baik banget." hanya itu kalimat yang keluar dari mulut Shinta setelah berdiam diri lebih dari 20 menit.

Setelah itu, Shinta lebih memilih untuk bersiap sekolah.

Selama ini, walaupun satu atap, Dewi tidak pernah sekalipun berangkat ke sekolah bersama Dewa. Dewi lebih memilih mengendarai mobilnya, pamer kalau di novelnya. Ya, mobil yang biasa Dewi kenakan adalah mobil bermerk. Shinta tak ingin menyebutkan merk-nya. Dia tak di sponsori. Hehe.

Dan setelah dipikir-pikir lagi, sepertinya kejadian malam tadi adalah yang pertama bagi Dewi.

Berboncengan dengan Dewa.

Sebelum memasuki mobil, Shinta sedari tadi masih terus merenung. "Ini, gue bisa ngerubah alur nggak sih?"

Shinta ingin optimis, tapi kadang kenyataan menghantam telak.

Bugh!

Shinta menendang bagian bawah mobil. Dia memejamkan matanya, menahan napas. Sepertinya, hanya di dunia novel inilah dia benar-benar membuka mata. "Please, kalo tujuannya memang untuk membuka mata, untuk membuat gue ikhlas, please gue mau kembali." Shinta menunduk. Dia tidak nyaman berada di sini. Mengingat, hidup Dewi yang begitu sial.

Lalu, Shinta teringat sesuatu. Dewi memang sering terkena sial. Tapi, rasanya Shinta belum terkena pengaruh dari sial nya Dewi di novel.

Shinta meneguk ludah. Tiba-tiba saja, dia menjadi optimis. Optimis bisa mengubah alur cerita ini. Shinta mengepalkan tangannya. "Yeah! Mari ingat kembali kata, 'apapun yang terjadi Shinta harus tetap hidup!' ya mari ingat kata itu baik-baik." Shinta tersenyum senang. Dia ingin mengawali harinya dengan senyuman. Lalu, dia segera memasuki mobil.

Tidak bisa nyala.

"Masa mogok sih?" Shinta bermonolog. Dia lalu memukul stir kesal. "SIALAN!!! BARU AJA OPTIMIS UDAH DIJATUHIN AJA."

Air mata Shinta turun, dia segera menghapusnya. Lalu memukul-mukul stir mobil kembali, meluapkan kesal. "Mobil mahal sialan! Kampret! Apa-apaan Lo mogok heh! Jangan-jangan ini KW lagi!" Shinta masih terus memukul stir mobil.

"Khaaah." Dia menghela napas. Berhenti memukul mobil, dan bersandar di jok. Memejamkan mata sejenak. Lalu, Shinta mengamati jam di pergelangan tangannya.

20 menit lagi, masuk sekolah.

"Kalo gue bolos, catatan hitam Dewi bakalan nambah." Shinta bermonolog. "Dan lagi, bolos nggak bolos ada pengaruhnya nggak sih? Ck!" Shinta berdecak dia segera mengambil tisu yang berada di dashboard, lalu mengelap wajahnya yang masih ada sisa tangisan.

Setelah selesai, Shinta keluar dari dalam mobil.

Dia pasrah saja, ingin berjalan ke sekolah. Pasrah, siap dihukum. Siap menambah catatan, dan sepertinya juga siap untuk tidak lulus.

"Aaaaaahhhh." Shinta lalu menendang kerikil yang ada di hadapannya.

Dukk!!

Kerikil itu mengenai seseorang. Mata Shinta membola.

Siapa lagi memang?

Kerikil itu mengenai Dewa.

Shinta berlari menuju arah Dewa yang berjarak sekitar 3 meter dari dirinya.

"Sory." Shinta nyengir. Sedangkan Dewa mendengus. Lalu memasang helm-nya.

"Naik."

"Hah?" Shinta mengorek telinganya. Berharap dia tidak salah dengar.

Dewa tetap diam. Lalu menstater motornya. Dengan cepat-cepat, Shinta menaiki motor sport milik Dewa lagi.

Untuk yang kedua kalinya dia menaiki motor ini.

Shinta meneguk ludah. Dewi tidak pernah mendapatkan kesempatan ini sampai akhir novel sekalipun.

Ah, Shinta rasanya benar-benar terombang-ambing. Harus optimis, atau pasrah dia?

"Pegangan." Dewa menarik tangan Shinta untuk melingkar di perutnya. Jantung Shinta berdegup kencang.

Dia masih bingung.

Lalu, Shinta tersenyum kecut. Dia memilih untuk Optimis saja.

Optimis tidak dapat merubah alur.

********
Selasa, 13 Desember 2022

MUTUALTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang