Prolog

69 12 0
                                    


"Teman-teman Gandi dan Farhan sudah silaturahmi ke rumah, Mbak?"

Sambil menunggu jawaban, wanita paruh baya itu meletakan piring berisi rendang di meja makan.

"Belum. Biasanya teman SMA mereka lebaran hari ke lima baru ke sini."

"Oh... ada yang jomblo nggak, Mbak?"

"Eh mana aku tahu, Win. Memangnya ada apa? Mau carikan jodoh untuk Nana?"

Windi. Ibu dari gadis yang namanya disebut tadi mengangguk dan tersenyum riang, senang karena kakak iparnya cepat menangkap maksud dari pertanyaannya tadi. "Iya, siapa tahu jodoh Nana lewat teman Gandi atau Farhan."

Mulut Nana yang sedang sibuk mengunyah nastar akhirnya berhenti, ia berhasil mencuri dengar pembicaraan dua wanita yang berjarak tidak jauh dari tempatnya berdiri. Tadi Nana bersama dengan sepupu dan keponakannya menikmati aneka kue lebaran sambil menonton acara TV dan berbincang ringan, tapi Farhan—kakak sepupunya—menyuruh Nana untuk memanggil Gandi yang entah sibuk apa di kamar dari selesai sholat ied pria itu belum menampakkan batang hidungnya.

"Dek, ngapain disitu?" suara pria yang menepuk bahu Nana menginterupsi. Ia membuat gerakan agar pria itu tidak membuat suara lagi—yang mungkin bisa didengar oleh Ibu dan Bude Lilik.

"Oh... nguping nih ceritanya?" tanya Gandi setelah paham maksud gerakan tangan Nana.

"Hussstt. Bang Gandi, bisa diam nggak sih?"

Pria itu membuat gerakan tangan tanda menyanggupi permintaan ketus adik sepupunya, "Mereka ngomong apa? Kelihatannya serius."

Pria berwajah tampan dan ramah ini adalah kakak sepupu Nana. Namanya Gandi Triananta. Anak bungsu dari kakak laki-laki Ibu-nya Nana. Perbedaan usia Nana dan Gandi hanya beda setahun lebih, sebab itu mulai dari SD sampai SMA mereka satu sekolah, bahkan untuk bimbel juga ditempat yang sama. Karena itu Nana lebih dekat dengan Gandi daripada dengan sepupunya yang lain.

"Lo mau dicariin jodoh, Dek?" tanya Gandi sambil tertawa-tawa. Percakapan Ibu dan Bude Lilik tetap berlanjut tanpa menyadari ada Nana dan Gandi yang memasang telinga untuk mencuri dengar.

sialan. "Songong ye mentang-mentang ada pacar."

Gandi berdeham, timbul batuk juga akibat menertawai adik sepupunya, "Yaelah kalo mau kenalan sama teman-teman ku bilang aja, Dek. Nggak perlu malu sampai lewat Emak lo gitu," sambung Gandi masih dibarengi nada mengejek.

"Makin tua makin nyebelin kamu Bang. Nggak ada ya niat aku mau kenalan sama temen-temen gesrekmu," Nana meninju bahu Gandi, hanya pukulan ringan dan tidak akan terlalu terasa untuk pria itu.

"Makanya move on dong. Move on. Udah empat tahun nih, cari pacarlah. Betah banget kamu jomblo."

Nana memutar bola matanya kesal. Diungkit lagi diungkit lagi, orang-orang terdekatnya ini seperti tidak bosan membahas masa lalunya, menyuruhnya untuk move on tapi malah terus merecokinya dengan berbagai hal tentang pria itu tiap kali status jomblo yang disandangnya dipermasalahkan. Memang ada masalah apa sih dengan status jomblo? Seperti Nana adalah pendosa paling hina kalau belum terbebas dari kejombloan.

"Aku udah move on, kok," balas Nana.

"Udah move on tapi masih sering stalk sosmed mantan dan jadi galau nggak jelas kalo mantan bikin snap atau post foto sama doi-nya."

God. Yang ingin Nana lakukan saat ini adalah menjabak rambut Gandi saja, supaya pria dengan mulut tak berakhlak itu berhenti mengompori hatinya yang sedang proses move on dengan bisikan-bisikan tentang mantan.

"Tertular virus jomblo abis ini kamu."

"Eh," Air muka Gandi langsung berubah mendengar umpatan atau doa bernada sinis itu, "Jelek banget doanya, Dek."

"Salahmu, jahat sih jadi cowok. Kan, asik kalau kamu jomblo ada temannya aku," balas Nana sambil memakan kue nastar kemudian diikuti suara tawa.

"Damailah. Aku kenalin sama temanku yang cakep deh."

"Nggak ah. Orang aku masih nyaman begini kok."

Sebelah tangan Gandi merangkul bahu mungil Nana, satu tangannya mengambil kue nastar di dalam toples kaca yang berada di gendongan Nana, "Piza aja yuk? Ajak Bang Farhan, kita palak dompetnya sebelum dia kawin."

"Asik asik. Gaskeun, daripada makan rendang mulu."

*

"Dek, kamu pulang sendiri nggak apa 'kan? Abang dipanggil atasan, kita ke Polres dulu ya, antar Abang. Nanti kamu bawa pulang mobilnya."

Itu suara Farhan. Kakak sepupu Nana ini berprofesi sebagai polisi, jam kerja yang tidak menentu dan harus siap mengemban tugas kapan saja meskipun sekarang masih dalam suasana lebaran. Ah. Ya. Bagimana ia harus mengatakan pada Farhan kalau ia tidak mungkin membawa mobil tanpa surat ijin mengemudi (SIM). Astaga, jangankan SIM. Nana bahkan tidak berniat membawa dompetnya, sebab ia pergi bersama dua kakak sepupunya, ia akan tetap aman, itu pikir Nana tadi.

"Oh... iya, Bang," ucap Nana ragu.

Situasi sulit ini tidak akan tercipta kalau Gandi pulang bersama mereka dan tidak menyanggupi ajakan nongkrong para pria yang mereka temui di restoran piza, yang Gandi akui sebagai teman-temannya. Hubungan Nana dan Farhan tidak sedekat ia dengan Gandi, apalagi raut muka Farhan yang selalu terlihat tegas membuatnya segan untuk bersikap selengekan seperti saat bersama Gandi, meskipun mereka terbilang sepupu dekat.

"Sudah sampai, Dek. Abang pergi dulu, ya."

"Eh... tapi—"

Selepas Farhan berpamitan dan keluar dari mobil, derap pintu mobil yang tertutup itu mengiringi kebingungan Nana yang semakin menjadi. Pertama ia tidak membawa SIM dan hanya uang pecahan lima puluh ribu disaku celana jins-nya, dan kedua sudah cukup lama ia tidak mengemudi mobil.

Nana berpindah ke kursi kemudi, dengan sangat tidak ikhlas dia menyalakan mesin mobil. Mengambil napas dalam-dalam, memupuk optimisme sebanyak mungkin, dan tidak lupa berdoa. Semoga ia selamat bersama SUV putih kesayangan Farhan ini. Ah. Jangan samakan menyetir itu sama mudahnya dengan mengemudi motor matic, Nana menghabiskan waktu yang cukup lama di tempat kursus mengemudi sampai ia dinyatakan benar-benar lancar.

SUV putih itu mulai bergerak, sengaja ia tidak menyalakan music apapun agar otaknya bisa fokus pada setir kemudi. Apabila kebanyakan orang enjoy dan lebih fresh dengan alunan lagu favorit saat berada di situasi tegang, maka Nana adalah kebalikannya, baginya hening adalah yang terbaik untuk membuatnya tetap fokus.

"Gila sih ini, udah lama nggak bawa mobil malah disuruh nyetir sendiri. Ayo Nana fokus!"

Aman dan tidak sulit. Nana harus banyak mengucap syukur, ternyata dia saja yang terlalu overthinking. Hanya tinggal separuh jalan lagi, maka SUV putih ini akan terparkir cantik di carport depan rumah Bude Lilik. Usai traffic light berubah warna menjadi hijau, Nana kembali menjalankan mobil, semua berjalan lancar. Tapi, belum sampai melewati tikungan ia dipaksa menginjak rem.

Terdengar suara benturan keras, dan itu seakan terus mengulang di telinganya. Mata Nana terpejam dan napas terengah, jantungnya seakan mencelos setelah memberanikan diri membuka mata dan melihat seseorang tergeletak tepat di depan mobilnya.

Nana yakin, dulu barangkali pihak kursus mengemudi sudah lelah membagi ilmu padanya dan Gandi berlagak sebagai pengawas pun mungkin teramat letih. Hasilnya, sekarang ia menabrak pengendara motor.

***

New project!!

Setelah lama engga main wp hehe

Semoga lancar.

Thank you for reading, see you soon.

HealingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang