"Morning calon adik ipar," Jihan menegur Nana dan bergabung duduk di sofa ruang tamu rumah keluarga Nana. Menarik Nana lebih dekat dan bercipika-cipiki dengan gadis itu, "Minal aidzin ya, Dek. Lebaran gini yuk buka lembaran baru, dikurang-kurangin lah galaunya."
Ini Jihan. Sahabat Nana dari SD sekaligus pacar kakak sepupunya-Gandi. Hari ketiga lebaran gadis cantik dengan rambut berwarna cokelat dan bergelombang itu baru bersilaturamhi ke rumahnya, sengaja datang pagi sebab selepas dzuhur nanti Jihan akan dijemput Gandi untuk bersilaturahmi juga di rumah keluarga pria itu.
"Minal aidzin juga," Nana balas tersenyum, namun sedetik kemudian wajahnya berubah kesal, "Fyi, aku nggak lagi galau ya dan nggak usah ikutan manggil 'Dek' kayak cowokmu yang rese itu."
Jihan terkekeh, "Iya iya. Sensi amat. Lagian kamu kenapa sama ayang beb, berantem lagi? Kok Gandi nggak cerita ke aku ya, Na? Aduh, kalian ini sodaraan tapi dikit-dikit gelut dikit-dikit akur, kayak anak kucing saja."
"Masalahnya bukan di Bang Gandi sih. Cuma asal mulanya memang dari dia. Coba saja kalau mulutnya nggak ember cerita tentang aku yang nabrak orang-"
"What?!" pekik Jihan. Gadis itu sampai tersedak minuman sirup yang tengah ia teguk, "Kok kamu nggak cerita, Na?"
"Eh? Aku belum cerita ya?" Nana meringis sambil menggaruk bagian belakang kepalanya yang tidak gatal.
Jihan meletakkan gelas sirupnya, "Ayo cerita, kapan dan gimana bisa kamu nabrak orang? Tapi kamu nggak pa-pa 'kan, Na? Orang itu masih hidup? Enggak kenapa-kenapa?"
Nana mengambil lagi kue nastar yang sudah setengah toples ia habiskan. Bibirnya mengerucut ketika Jihan memberondongnya dengan banyak pertanyaan, "Tanya satu-satu, Han. Mana dulu nih yang aku jawab?"
Jihan terkekeh, "Oke oke. Kamu nggak pa-pa? sehat?"
"Iya. Alhamdulillah. Sehat walafiat."
"Kapan dan gimana ceritanya kamu nabrak orang?"
Nana beranjak dari duduknya, mengambil toples berisi kue kastangel keju, kemudian kembali dan mencari posisi duduk yang nyaman. Ia baru menyadari kalau serangkaian kecelakaan yang terjadi belum sempat ia ceritakan pada Jihan. Maka Nana menceritakan semuanya. Bagaimana ia sampai bisa mengemudi mobil Farhan, momen kecelakaan yang menyebabkan Fauzan mendapat jahitan di dahi dan mengalami cedera bahu, dan terakhir saat ia dan Ibu berkunjung untuk menjenguk Fauzan kemarin.
"Bentar, jadi cowok yang kamu tabrak itu Mas Fauzan temannya Gandi? Mas Fauzan yang orang BPS itu? Wah, luar biasa," Jihan bertepuk tangan seolah apa yang Nana ceritakan adalah sesuatu yang patut dibanggakan.
Dahi Nana berkerut mendengar salah satu kalimat Jihan yang menurutnya cukup janggal, dengan waktu empat belas tahun Nana pikir Jihan akan sama seperti dirinya, tidak akan mengingat dengan baik siapa itu Fauzan, "Kok tahu kalau dia kerja di BPS?"
"Dia temannya Gandi."
"Iya paham. Tapi sudah lama banget waktu mereka SMP."
Jihan terkekeh, "Duh, Nana. Mereka masih sering nongkrong bareng dari jaman Gandi kuliah di Jakarta, sama Mas Fahmi dan Mas Satrio juga. Aku juga follow dia di IG."
"Masa sih, Han? Kok aku nggak tahu ya? Apa aku yang kudet."
"Fokus galauin mantan sih," ledek Jihan sambil cengengesan.
Nana bersungut, telinganya terasa panas kala mendengar kata terlarang itu, "Enak saja. Sudah move on ya aku."
Jihan lagi tergelak keras, badannya ia jatuhkan di empuknya sofa, "Ya memang harus move on, Na. Empat tahun!" Jihan memajukan empat jarinya tepat di depan wajah Nana, "Sudah empat tahun dari si cecunguk Prana berulah, masa enggak mau move on sih?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Healing
General FictionIni tentang Nana, gadis 24 tahun yang gagal move on dan berusaha keluar dari kubangan masa lalu mantan pacar yang menyedihkan, di tengah usahanya move on ia bertemu dengan Fauzan. Pria yang sukses dengan karir dan hampir sempurna di mata banyak oran...