Part 2

29 5 0
                                    

Happy reading

***

Nana mengusap wajahnya dan mendesah pelan. Sarapan pagi ini masih mengandalkan rendang hasil kolaborasi Ibu dan Bude Lilik, sudah dibagi-bagi pada dua kakak dan sepupu-sepupunya, rendang itu masih saja menggunung di dapur. Belum lagi dengan Gandi yang pagi ini sudah mengacau di rumahnya, meminta sarapan dengan alasan kedua orang tua pria itu dan Farhan tidak berada dirumah dikarenakan adanya pertemuan keluarga dengan calon istri Farhan. Ah. Bukan itu bagian terburuknya, tapi saat Gandi dengan santai membahas insiden kecelakaan hingga terdengar di telinga Ayah dan Ibunya. Padahal Nana sengaja menutupi kejadian itu serapat mungkin, dengan maksud tidak ingin mmebuat kedua orang tuanya khawatir.

Jadilah Ibu bersikeras ingin menjenguk Fauzan, diperkuat dengan dukungan Ayah. Maka pagi menjelang siang itu Nana dan Ibu berangkat dari rumah dengan motor matic Nana, berbekal dua kresek bingkisan berupa buah segar dan kue kering yang sempat Ibu beli di toserba sebelum berangkat menuju rumah pria itu.

"Agak cepat nggak bisa ya? Panas loh, Na," ucap Ibu sambil mengerakkan tangannya laiknya sebuah kipas.

"Ini di jalan desa mana boleh ngebut, Bu," jawab Nana tanpa mengalihkan fokus untuk mengemudi motornya, jalan di daerahnya ini memang sudah diaspal tapi boleh dilihat lebih jeli kalau sudah bermunculan lubang-lubang besar yang harus diwaspadai pengemudi untuk menghindari kecelakaan. Terlebih banyak anak kecil yang bermain dengan sepeda mereka, mengharuskan Nana untuk lebih berhati-hati.

"Kalau bawa mobil nggak kepanasan, Na."

"Ibu lupa ya? Sekarang aku sudah nggak boleh bawa mobil sama Ayah."

Nana melihat Ibu tengah menghela napas dari kaca spion.

"Iya iya. Lebih baik hati-hati deh, cukup mobil saja sekarang jangan sampai kamu dilarang pakai motor juga sama Ayahmu."

"Iya, Bu," Nana mengangguk patuh. Mengingat bahwa Ayah sudah memberikan ultimatum kepadanya, bahwa ia dilarang keras mendekati kursi kemudi mobil apalagi sampai nekat mengemudi sendirian. Nana tidak melihat Ayah seperti sedang memberikan gertak sambal, buktinya ia harus ikhlas merelakan SIM miliknya ditahan sementara oleh Ayah, "Tapi sampai kapan ya, Bu?"

"Sampai Ayahmu pikun kali."

Nana sedikit terkejut dengan ucapan Ibu, namun kemudian ikut tertawa kecil setelah mendengar suara tawa renyah Ibu dibelakangnya, "Kok doain Ayah pikun sih. Lagipula Ayah nggak mungkin pikun deh, Bu, Ayah 'kan jeli banget orangnya."

Ibu mengangguk setuju, "Bener, Nduk. Malah Ibu yang sering lupa sekarang, padahal lebih tua Ayahmu."

"Masa aku harus kursus mengemudi lagi sih, Bu?"

"Sabar ae loh. Namanya musibah, mulai sekarang lebih hati-hati."

Nana mematikan mesin motor setelah sampai di depan pintu pagar yang menjulang tinggi, dibalik pagar itu ada rumah megah milik Kepala Desa, pun di samping rumah megah ini berdiri juga rumah yang tidak kalah megah lengkap dengan pagar sama tingginya. Setelah mengetahui fakta siapa sebenarnya Fauzan, Nana seperti diingatkan bahwa salah satu paman dari pihak ayah pria itu menjabat sebagai Kepala Desa di desa tempatnya tinggal.

"Rumahnya yang mana, Bu?"

"Tuh," Ibu menunjuk dengan memajukan dagunya, "Baru kemarin lusa Ibu ketemu Harti di pasar, diminta main ke rumahnya. Eh besoknya kamu bikin gara-gara, jadi ke sini juga 'kan akhirnya."

Nana menghela napas pelan, "Nyindir nih? Aku sudah ngaku salah loh, Bu."

"Ya emang kamu salah, Nduk," Ibu mengejek dengan bercanda, "Sudah sudah, ayo masuk."

HealingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang