Satu bulan sudah aku menjadi istri Mas Irfan. Ya, setelah memboyongku ke rumah orang tuanya dia memintaku memanggilnya dengan sebutan Mas. Sementara aku dia panggil dengan sebutan Dek. Aku tak mau ambil pusing hanya untuk sebuah panggilan saja. Toh, usianya memang jauh lebih di atasku yang terpaut 13 tahun.
Aku baru mengetahui saat membaca buku nikah kami mengenai data pribadinya yang kini berusia 35 tahun. Tentu saja dari segi sifatku dengannya sangat bertolak belakang karena aku masih muda. Sedangkan Frans saja baru berusia 26 tahun.
Mengingat hal itu membuatku sedih. Kenapa laki-laki berengsek itu masih terus membayangiku. Bahkan status Frans juga telah berubah menjadi adik iparku.
Dua minggu yang lalu dia menikahi Erika dengan pesta menakjubkan. Ternyata laki-laki yang kucintai sepenuh hati selama tiga tahun ini hanyalah seorang pengkhianat dan pezina. Kuhapus segera air mata yang bergulir di pipi.
"Kenapa nangis, Dek? Apa Mas buat salah sama kamu?" suara Mas Irfan selalu lembut jika berbicara. Entah terbuat dari apa hati laki-laki ini masih bersikap baik padaku.
Bahkan sejak ijab kabul terucap aku tak pernah memberikan hak penuh sebagai istri seutuhnya. Aku tak mengizinkan Mas Irfan menyentuh tubuhku walau kutahu kewajiban seorang istri yang wajib kulakukan menurut ajaran keyakinanku.
"Nggak usah sok peduli, Mas. Mau aku baik ataupun sakit nggak akan ada pengaruhnya buat kamu."
"Dek, kok ngomongnya gitu. Kalo kamu begitu nanti aku di pabrik malah mikirin kamu terus," ucapnya sendu. Pekerjaan Mas Irfan adalah pegawai pabrik biasa.
Meski dia memiliki titel bergelar sarjana, jabatan pekerjaannya biasa saja tanpa ada peningkatan. Itulah yang sering aku dengar dari mulut pedas ibu mertuaku--ibu kandung Mas Irfan. Berbeda sekali jika membicarakan putri kesayangannya. Erika si perempuan culas yang kini menjadi istri dari mantan tunanganku.
Ya, Tuhan, kenapa hidupku harus berdampingan dengan orang-orang menyebalkan ini. Kesabaran jenis apa yang harus kumiliki agar mampu bertahan dalam lingkup yang menyakitkan.
"Aku berangkat, ya, Dek. Hari ini Mas gajian nanti kasih uang buat ibu satu juta. Sisanya tiga juta buat kebutuhan kita. Semoga aja cukup. Kalo kurang bilang aja supaya Mas cari tambahan lemburan, kalo nggak kerjaan serabutan buat cukupin kebutuhan kamu," ucap Mas Irfan seraya memberikan sebuah kartu ATM. Laki-laki berkumis dan janggut tipis itu tersenyum tulus padaku.
"Jangan terlalu manjain istri, Fan. Baru juga terima gaji pertama suami masa iya udah merasa kurang. Itu namanya kurang bersyukur. Oh, ya, jatah bulanan biasa yang kamu kasih buat Erika sekarang Ibu yang pegang, loh. Ibu nggak rela kalo itu dikasih ke istri kamu!" cetus Ibu mertuaku membuatku geram. Aku berjalan ke arah dapur untuk menyiapkan bekal makan siang Mas Irfan. Juga demi menghindari kericuhan yang membuat mood-ku rusak.
"Loh, Bu, itu, kan, mau aku gunain buat tambahan beli bahan sembako dan kebutuhan dapur selama sebulan. Lagian sekarang aku udah punya tanggung jawab sama Yasmin. Dia istri yang harus aku jamin kehidupannya. Ibu harus adil karena Yasmin sekarang menantu Ibu, jadi bagian anak Ibu juga." Mas Irfan mencoba memberi pengertian tapi nyatanya malah ditolak mentah-mentah.
"Siapa juga yang mau kamu nikahin dia. Berarti itu urusan kamu. Pokoknya Ibu tetep minta bagian Ibu dan Erika tanpa ada yang kurang!" sentak Ibu Mas Irfan seraya membanting pintu memasuki kamar.
Tak pernah kusangka jika seorang ibu yang memberikan kehidupan putranya tega memberi beban berat. Sikap ibu mertuaku sangat jauh dibandingkan dengan Bunda Tia yang tak pernah berkata kasar pada anak-anak di panti yang tak memiliki hubungan darah. Aku menghela napas rendah.
Kulihat wajah Mas Irfan yang muram. Saat kuhampiri dia merubah ekspresi seperti biasa saja.
"Turutin aja apa mau Ibumu, Mas. Nggak masalah kalo aku cuma terima dua juta. Insya Allah cukup. Mas Irfan nggak usah khawatir," kataku menenangkan. Melihat kegundahannya membuat jiwa terdalammu iba laki-laki dewasa ini seolah masih didikte sang ibu.
"Makasih, Dek. Kalo gitu Mas berangkat, ya."
Kucium punggung tangannya dengan takzim. Untuk hal ini aku tak melupakan adab dan akhlak agar tetap patuh dan hormat pada suamiku. Kuserahkan kotak bekal berwarna biru padanya. Dia menerima lalu memasukan dalam tas punggungnya. Aku juga mengembalikan lagi kartu ATM.
"Loh, kok?"
"Mas aja yang pegang. Aku lagi pingin di rumah aja. Nanti Mas aja yang ambil uangnya terus kasih Ibu. Aku cuma takut Ibu makin nggak suka sama aku kalo ini aku yang pegang."
Mas Irfan tampak berpikir sejenak, kemudian dia mengangguk. "Oke, ini Mas pegang. Nanti sisa uangnya aku kasih semua ke kamu." Sebelum pergi, tangannya membelai sayang puncak kepalaku dengan tatapan dalam. Aku tak berani menatapnya dan hanya menunduk menghindari kontak mata.
.
.
.#justteaser
#ebookplaystore*Minggu, 03 Januari 2021
EL alice
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta yang Kandas
NouvellesBagaimana sensasinya menikah dengan laki-laki yang notabene-nya adalah kakak dari perempuan yang merebut tunanganmu?