Dua

4.8K 732 22
                                    

"Maaf kalau kedatangan saya tiba-tiba dan buat Ibu bingung. Hem, perkenalkan, nama saya Irfan Prasasti. Kedatangan saya ke sini untuk menggantikan posisi Frans menjadi suami Yasmin Rahayu," ucapnya tegas tanpa keraguan sama sekali.

Sontak aku membalikkan tubuh menatap tajam laki-laki yang juga menatapku serius. "Siapa kamu? Dibayar berapa sama Frans sampai rela mau lakuin hal rendah kayak gini? Kamu siapanya Frans?!" kucengekeram kerah kemeja putih yang dikenakannya. Aku sudah tak memedulikan tatakrama karena luka menyakitkan ini.

Melihat keributan di antara kami menarik perhatian beberapa orang yang berada di dekatku. Bunda Tia menarik kami berdua ke dalam kamar. Menutup rapat pintu untuk kembali menginterogasi laki-laki yang terlihat tenang.

"Kamu belum jawab siapa kamu sebenernya dan apa tujuanmu?" tanyaku memakasa.

Laki-laki itu mengembuskan napas berat. Dia menatap dalam bola mataku dengan kesedihan. Aku sangat benci jika hanya belas kasihan yang dia tunjukkan.

"Frans baru aja melamar adik saya. Frans terpaksa membatalkan pernikahan kalian karena saat ini Erika mengandung benihnya."

Bunyi suara pecahan dari vas bunga mengejutkan Bunda Tia. Beliau memelukku agar tetap kuat berpijak. "Sabar, Nak, sabar."

"Saya ke sini untuk meminta maaf yang sedalam-dalamnya sama kamu, Yasmin. Dan saya bersedia menikahi kamu. Saya nggak akan tinggal diam perempuan baik-baik seperti kamu dipermalukan dengan cara begini. Saya akan menanggungnya. Saya --"

"Tutup mulut kamu! Kamu pikir aku akan nerima gitu aja? Aku udah terlanjur dibuat malu oleh keluarga kalian!"

"Yasmin." Bunda Tia mengelus punggungku. Belum sempat beliau membuka mulutnya ketukan pintu tak sabaran membuat Bunda Tia melepasku untuk memastikan keadaan di luar.

Pintu dibiarkan terbuka agar tak menimbulkan fitnah antara kami. Terdengar samar suara Bunda dengan seorang panitia membicarakan tentang ijab kabul yang sudah melewati batas waktunya.

Sementar Pak Penghulu masih banyak jadwal menikahkan mempelai lainnya. Panitia juga memberitahukan keadaan di luar yang sudah mulia bising oleh bisik-bisik para tamu undangan. Aku mendengar jelas jika Bunda Tia mengeluarkan lagi tangisannya.

"Yasmin, saya mohon pikirkan nama baik panti. Pikirkan kesehatan Ibu panti kamu. Masalah hari ini bisa diselesaikan baik-baik kalau kamu mau menerima tawaran saya," bujuknya memohon. "Saya nggak punya niat buruk selain ingin menanggung kesalahan adik saya dan juga beban kamu saat ini. Saya mohon, lanjutkan pernikahan ini dengan saya yang jadi mempelainya."

Aku mulai dilema. Semua yang dikatakan laki-laki itu memang benar. Aku tak boleh egois memikirkan diriku saja. Aku harus bersedia menelan luka ini sendirian tanpa melibatkan kecemasan pada Bunda Tia dan panti.

"Yasmin." Suara Bunda Tia menginterupsi dari pertimbangan berat. Sekali keputusan ini kulantangkan, masa depanku akan menjadi taruhan seumur hidup.

"Bunda, aku mau nerima laki-laki ini jadi pengganti Frans. Aku mau ijab kabul ini tetep berjalan seharusnya," ucapku bergetar. Bunda Tia melingkarkan tangannya di punggungku.

"Jangan memaksa. Pernikahan bukan main-main. Nggak bisa dipindah tangankan seperti ini."

"Saya serius, Bu. Saya emang niat ke sini untuk nikahin Yasmin tanpa paksaan pihak keluarga. Karena ini harusnya jadi tanggung jawab saya karena nggak bisa jaga diri adik perempuan saya sampai melakukan zina dan menyakiti perempuan sebaik Yasmin. Insya Allah saya siap jadi Imam buat anak asuh Ibu," ucapnya penuh keseriusan hingga berhasil membuat garis bibir Bunda Tia melengkung. Entah beliau kagum pada kesungguhan niat baik laki-laki ini atau karena alasan lain.

"Saya nggak berhak memutuskan. Semua saya serahkan sama Yasmin karena dia yang akan berdampingan sama kamu." Bunda Tia menoleh padaku. Dari tatapannya aku bisa merasakan jika Bunda sangat ingin aku melupakan laki-laki sialan yang menjalin hubungan denganku selama tiga tahun.

Kupejamkan mata seraya mengucap lapaz keyakinan dalam hatiku. Kugigit bibir bawahku sampai akhirnya keputusan berat ini kuucapkan, "Yasmin bersedia menikah dengannya, Bun, karena laki-laki ini memang pantes menanggungnya!" desisku tajam. Namun nyatanya sambutan yang diterima laki-laki ini berbeda. Dia tersenyum lebar memamerkan deretan giginya yang rapi serta kedua lesung pipi yang semakin dalam.

Gegas Bunda Tia memanggil perias pengantin untuk memperbaiki riasan di wajahku yang entah bagaimana bentuk rupanya.

Selagi dirias kembali aku mendengar Bunda Tia berbicara pada Irfan mengenai cincin pernikahan. Aku terpana jika laki-laki itu sudah mempersiapkannya. Sampai ijab kabul bergema, sampai benda mungil itu tersemat cantik di sela jari manisku dengan ukuran pas, kecurigaan mulai menguasai isi dalam kepalaku.

.
.
.

*Sabtu, 02 Januari 2021
  EL alice

Cinta yang KandasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang