Satu

5.9K 769 14
                                    

Hiasan cantik dengan berbagai macam bunga menghiasi pelataran panti terlihat sedap dipandang. Banyak tamu undangan yang terkagum memerhatikan dekorasi pelaminan dan juga tenda untuk menyambut para tamu.

Semua kebahagiaan yang dirasakan tamu mulai memudar tergantikan kecemasan. Bahkan aku sendiri yang sejak satu jam lalu siap memakai kebaya putih mulai gelisah tak menentu.

Bulir keringat telah bermunculan di keningku. Bukan karena faktor cuaca, justru aku sangat ketakutan jika calon imamku tak akan datang.

"Yasmin! Nak, kamu yang sabar, ya. Ikhlas. Ini ujian buat kamu."

Tiba-tiba Bunda Tia tergopoh-gopoh masuk ke kamar pengantinku. Beliau berteriak keras sambil menangis sesenggukan. Meski coba diredam tetap saja wanita berusia senja yang merawatku sejak bayi sangat bersedih.

"Kenapa, Bun? Bunda tenang dulu," ucapku menenangkan. Kuberikan air minum di kemasan gelas kecil. Bunda Tia meneguk cepat hingga terbatuk-batuk. Aku membantunya dengan mengusap punggung ringkih beliau. Bukannya menjadi tenang Bund Tia malah kembali menangis. Ia memeluk tubuhku erat menularkan rasa takut mendalam. "Bunda ..."

"Sabar, Yas, kamu pasti akan dapet yang terbaik. Dia emang bukan laki-laki yang baik yang pantes jadi Imam buat kamu."

Hatiku mulai mencelus. Ketakutan berbondong-bondong menghantam pertahananku.

"Frans, dia ..."

"Frans kenapa, Bun? Apa yang terjadi sama Frans?" tanyaku tak sabar menarik kedua bahu Bunda Tia yang semakin bergetar. Matanya memerah menatapku. Sorot mata iba terlihat dari pantulan matanya.

"Frans batalin sepihak pernikahan kamu. Dia nggak akan mengucapkan ijab kabul dengan kamu, Yas," lirihnya semakin terisak.

Bunda Tia lekas mengeluarkan benda pipih dari tas jinjingnya. Beberapa foto memperlihatkan sesuatu yang menyakitkan. Di sana terlihat laki-laki yang seharusnya berada di sini sejak tadi menghadap penghulu malah sedang tersenyum bahagia di depan kamera menunjukan sepasang cincin pada seorang perempuan yang kuyakini adalah tunangan Frans.

Luruh sudah genangan air mata yang sejak tadi bertumpuk dalam kelopak mataku. Hujan deras membasahi kedua pipi yang telah terpoles make up pengantin. Lututku meluruh. Bersimpuh di samping dipan kecil berseprai cantik ala pengantin baru. Harapanku kandas dalam sekejap.

"Kenapa dia tega bikin malu aku, Bun? Aku salah apa? Apa karena aku cuma anak panti asuhan? Nggak punya keluarga yang bisa melindungi aku jadi dia bisa sesesuka hati merendahkan aku kayak gini?" jeritku tertahan. Kucengkeram bagian dada yang berdenyut perih. Sekejap saja ia berhasil melukaiku begitu parah.

"Ikhlas, ya, Nak. Sabar. Kamu pasti kuat. Ada Bunda," lagi Bunda Tia memeluk tubuhku. Berusaha menyalurkan ketenangan meski kenyataannya aku sangat ingin berteriak lantang mengeluarkan kesakitanku. "Bunda ke depan sebentar. Mau bilang ke Pak penghulu kalo acara dibatalkan."

Aku hanya pasrah. Tak mampu mengeluarkan suara. Di saat Bunda Tia membuka pintu kamarku beliau sangat terkejut pada kehadiran laki-laki jangkung berkulit hitam manis.

Wajah laki-laki itu terlihat panik. Aku yang lebih dulu melihatnya mendapat sapaan senyum tipis yang mencetak kedua lesung pipinya. Kupalingkan wajah lekas membalik badan karena aku memang tak mengenalnya.

"Kamu siapa? Kenapa bisa ada di sini?" tanya Bunda Tia.

"Saya bersedia menggantikan mempelai laki-laki yang nggak akan bisa hadir. Saya akan menikahi putri Ibu, Yasmin Rahayu."

Aku dan ibu terkejut bukan main akan tawaran mengejutkan di luar logika. Siapa laki-laki tak dikenal ini? Bahkan dia begitu lancar mengutarakan maksudnya.

.
.
.
.

*Sabtu, 02 Januari 2021
  EL alice

Cinta yang KandasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang