Upah Berkedok Ikhlas

9 1 0
                                    

Hari itu Schlau melakukan rutinitasnya seperti biasa: bekerja di Luxury Center Restaurant sebagai pelayan sekaligus pemberi solusi bagi siapa pun pelanggan restoran yang dirasa punya masalah. Biasanya dia mulai menjadi "psikolog" kepada para pemabuk, itu karena para pemabuk lebih gampang diinterogasi dan jujur. Namun bukan berarti mereka yang tidak menenggak alkohol tidak diperhatikan.

"Seporsi red velvet dan cheese cake." Schlau meletakan dua piring berisi dessert pesanan sepasang kekasih yang tampak berbahagia.

"Terima kasih," jawab wanita bermata kelabu itu pada Schlau. "Hmm ... bisakah aku meminta tolong padamu?"

"Dengan senang hati, Nyonya." Lesung pipi Schlau kembali terkembang.

"Fotokan aku bersama pacarku dengan latar taman di belakang, ya." Sepasang kekasih itu lantas mengatur pose berpegangan tangan yang diletakkan di atas meja. Latar taman bunga yang didominasi dengan mawar, membuat hasil jepretan Schlau terlihat apik.

Ckrek-Ckrek!

Dengan seksama, sepasang kekasih itu pun melihat hasil jepretan Schlau. "Bagus sekali! Terima kasih, Pak." Pria yang menjadi pujaan hati wanita itu tampak senang bukan kepalang.

Tidak cukup sampai di situ, pria itu kemudian merogoh dalam-dalam saku celananya untuk mengambil sesuatu.

"Ini, ambilah." Dia memberikan selembar uang senilai sepuluh dolar pada Schlau.

"Ti-tidak perlu, Tuan ..." Schlau menolak pemberiannya dengan tegas. Dengan bersikeras pula pria itu terus menyodorkan selembar mata uang pada Schlau. "Ayo, ambil saja. Anggap ini sebagai apresiasi dari kami karena kau sudah menjalankan tugasmu dengan baik."

Dengan berat hati, akhirnya Schlau menerima tip pemberian itu dan langsung ia simpan di saku baju. Dari ujung pandangan, tampak Bos Eugine sedang menatap tajam pada Schlau yang baru menerima tip itu. Dia memanggil Schlau—menggoyang-goyangkan kedua jarinya pada si pelayan.

Sesampainya Schlau di hadapan Bos, tepat di depan pintu ruang pribadinya, Bos menanyakan hal barusan, "Kamu diberi tip?" Mendengar perkataannya, Schlau pun tidak bisa mengelak, dia mengangguk.

"Kamu lupa? Beberapa hari yang lalu kamu bilang kalau kamu menolong orang dengan ikhlas." Bos memelintir kumisnya yang bergelombang. "Berikan pada saya tip yang kamu dapat!"

Schlau mengeluarkan kembali tip itu dari dalam sakunya. Lantas dia menyerahkan uang itu pada Bos yang tamak dan perhitungan. Berpindah tempatlah hak seorang bawahan yang bekerja pontang-panting kepada Bos mata duitan.

Dada Schlau merasa sesak secara tiba-tiba setelah uang itu diberikannya pada Bos. Ia merasa telah kehilangan haknya untuk menerima imbalan lebih dari pelanggan yang memberikan tip pada dirinya. Namun, dia juga tidak bisa marah pada siapa pun, karena dia menolong orang tanpa mengharap imbalan jika permintaan pelanggan di luar dari kewajibannya sebagai pelayan. Semenjak Schlau menerima konsekuensi dari Bos di kantor waktu itu, dia sudah tidak pernah menikmati tip dari pelanggan. Sebab, tip dari mereka terus dirampas oleh Bos.

Renungan Schlau teralihkan saat ketika seorang nenek tua berambut pendek dengan warna yang sudah memutih seutuhnya, datang ke dalam hotel dengan tergopoh-gopoh. Tongkat yang melengkung di pegagannya itu terus menopang tubuh nenek tua yang mulai membungkuk.

"Sini biar saya bantu." Dengan siaga Schlau langsung menuntun nenek itu ke kursi sofa yang berada di sudut restoran.

Sesampainya di tempat, Schlau menanyakan perihal nenek itu datang. "Ada apa Nenek datang kemari?" Tidak lupa senyuman yang membuat siapa saja merasa nyaman akan sikap Schlau, ia kembangkan untuk si nenek.

Senampan SolusiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang