Dirgahayu Republik Indonesia ke-76
Dua orang laki-laki dengan seragam sekolahnya sangat kontras dengan tempatnya berpijak saat ini. seragam yang dikenakannya berbeda dengan seragam orang-orang di sekitarnya. Walau begitu, tetap saja keduanya berjalan di koridor tanpa beban. Padahal hampir setiap orang yang melihat keberadaan mereka menatap dengan banyak tanda tanya.
"Lo tau gak sih kelasnya dimana?"
"XI Ipa 1 kan?" jawabnya sekaligus bertanya untuk memastikan jika informasi yang ia dengar tidak keliru.
"Iya. Gue juga tau XI Ipa 1. Tapi masalahnya ini sekolah orang. Kita gak tau di mana wilayah kelas X, XI, atau XII," ujar Gibran kesal.
"Tadi kan guru piketnya bilang di lantai 3." Cakra menjelaskan.
"Ya, ya... gue tau juga. Ini kita udah di lantai 3 tapi gak nemu-nemu kelasnya."
Cakra memegang tengkuknya. Ia baru menyadari kejanggalan yang Gibran rasakan. Rasanya ia sudah menjelajahi seluruh tempat yang ada di lantai 3. Tetapi tak jua menemukan kelas yang tengah dicari. Ia hanya menemukan kelas XII Ipa 1. Serupa, tapi tentu tidak sama.
"Yaudah cari lagi. Mana tau tadi kelewatan," usul Cakra.
"Eh! dilamain aja. Biar gak belajar kita. Lumayan kan gak belajar fisika. Ntar aja kita balik pas mau masuk jam pelajaran seni budaya." Di atas kepala Gibran seperti ada sebuah lampu yang menyala. Tiba-tiba saja ide buruk itu timbul.
Cakra dan Gibran meninggalkan sekolahnya usai jam istirahat pertama. Jam istirahat tadi mereka gunakan untuk menyerahkan kuitansi yang diminta pengurus tata usaha. Namun, tidak sampai semenit kertas kuitansi itu ditangan Bu Erma sudah berpindah kembali ke tangan Cakra.
"Ini kenapa gak ada cap nya?" tanya Bu Erma. Tidak ada nada menyeramkan atau mimik wajah yang marah, tapi mampu membuat Cakra tak nyaman.
"Cap apa bu? Cap kaki tiga?" tanya Cakra kembali.
"Cap kepala kosong! Ya cap apa aja, pokoknya cap resmi dari mereka. Bisa cap sekolah atau cap khusus perlombaan mereka."
"Oh... Kalau gitu besok aja ya Bu," putus Cakra dan hendak keluar dari ruang tata usaha.
"Eh mana bisa. Kan udah ibu bilang kalau hari ini terakhir. Ibu mau ngerekap pengeluaran sekolah, besok udah di serahkan laporannya."
"Lah, terus gimana dong bu?" sahut Gibran yang sendari menyimak.
"Makanya, kalau habis kegiatan-kegiatan gitu langsung serahin kuitansinya, jangan di tunda-tunda lagi."
"Bukan saya bu, harusnya ini tugas Sila," ungkap Cakra sebenarnya.
"Alasan. Yaudah, kalian urus surat izin keluar ke guru piket. Pergi ke SMA Bhayangkara, minta capnya." Bu Erma memerintah.
"Eh, kita dispen nih bu?" ucap Gibran senang.
KAMU SEDANG MEMBACA
ASMARALOKA
Teen FictionPermusuhan tak nyata dan tak terlihat yang tercipta tanpa sebab membuat dua insan sulit untuk bersama. Setiap perbedaan pasti mendatangkan masalah. Perbedaan seragam turut membuat hubungan mereka terguncang. "Jangan pedulikan orang lain, yang ngej...