enam

102 8 1
                                    

"anjir demi apa?" kataku pelan

Arkan berjalan ke arah kami, langkahnya tegas, mantap dan tubuhnya yang tinggi membelah lautan manusia loreng di sekitarnya. 

"Iya, Bun?" tanyanya setelah sampai di depan Ibu Kasad

"Kalian?" tanyaku gak yakin dengan apa yang barusan aku dengar.

Jadi, Ibu Kasad ini ibunya Arkan? Arkan yang tadi bikin gue malu itu?

Dunia memang sempit.

"Iya, Kirana, ini anak Ibu. Gimana, ganteng kan?" tanya Ibu Kasad sambil merangkul lengan Arkan.

"eee... bisa dibilang begitu, Bu," jawabku gagap. Yah, dibilang ganteng ya ganteng banget si Arkan mah.

"Tuh Arkan, kenalan gih sama Kirana," Ibu Kasad melepas rangkulannya pada lengan kanan Arkan. Lalu laki-laki itu mengulurkan tangannya.

Demi apa jantung gue kenapa dag dig dug gini sih.

Ibu Kasad tersenyum, Wa Kiki melepaskan senyum pepsodennya. Arkan dengan muka datar dan mata tajamnya itu menatapku menunggu uluran balik dari tanganku.

"Arkan," katanya setelah tanganku membalas salamnya

"Kirana," jawabku balik. Tangannya besar, kulitnya jauh lebih gelap dari kulitku dan melingkupi tanganku dengan sempurna.

***

Seminggu setelah kejadian hari itu, aku dan Arkan 'dipaksa' untuk terus-terusan bertemu. Ada suatu ketika, aku lagi belanja ke mall terus tiba-tiba om-om anak buahnya Om Bagus ninggalin aku gitu aja! Pas aku lagi sibuk nelfonin orang rumah, tiba-tiba muncul sosok laki-laki tinggi dengan celana loreng dan jaket armani hitam.

"Ngapain kamu di sini?" tanyaku langsung.

"Jemput kamu," jawab Arkan santai. Dia berdiri tegap sambil memasukkan kedua tangannya di dalam kantung jaket.

"Udah selesai belanjanya?" Arkan melirik barang-barang belanjaanku yang tergeletak di lantai sekelilingku.

"mmmmhhh," gumamku sambil terus mencoba menelfon orang rumah.

Lagi-lagi suara operator yang menjawab telfonku.

"Ih, pada kemana sih." Sumpah ya, gue tuh gak suka dan gak mau bareng sama si Arkan mulu

Bukan karena dia nyebelin, jelek, atau bau badan.

Tapi...

Pesonanya itu loh...

Modelan cover boy gini gimana mau hidup tenang aku kalau dekat-dekat terus.

"Udah dibilang, kamu aku jemput," katanya, sambil mengangkat belanjaan-belanjaanku dan berderap menuju ke area parkir, tanpa sekalipun menoleh ke arahku.

*****************************

Di dalam mobil brio biru milik Arkan, kami berdua sama-sama diam. Masih di dalam parkiran.

Mobil tak kunjung bergerak karena hari Minggu cukup padat, dan mobil-mobil masih mengantri untuk keluar.

Gak tau kenapa, lama-lama aku kedinginan, melihat ke bajuku, wajar, aku menggunakan knit long sleeve v neck, dengan celana pendek se paha. Sambil melirik ke bawah, aku bingung melihat rupanya ada kandang kecil yang panjangnya selebar kedua telapak tangan yang dihubungkan. Merasa diperhatikan, makhluk di dalam sana tiba-tiba bergerak, menimbulkan bunyi yang cukup nyaring.

"ASTAGHFIRULLAH," ucapku kaget. 

MARMUT!

alias tikus besar

Otomatis, aku langsung menaikkan kaki dan berjongkok di atas kursi tempat duduk. Tapi marmut alias tikus besar itu bukannya berdiam, malahan bertambah ribut dan suara kandang yang bertabrakan dengan badannya makin nyaring.

GUE GAK SUKA TIKUS! MAU SE LUCU DAN SE IMUT (kata orang) marmut. Sama aja mereka tikus!.

Gue noleh ke samping, Arkan melepas seat beltnya dan menunduk untuk mengambil kandang marmut itu. 

Yang artinya, tuh kandang bakal melewati gue. Bye. Gue gamau.

Dengan otak pintarnya Kirana, aku bangkit dan menubruk Arkan. 

Kita berakhir,

dengan aku yang duduk di pangkuan Mas-mas berjaket armani ini.

Wajah kita gak sampai 10 cm, dengan jarak sedekat ini aku bisa melihat bola matanya yang hitam legam, alisnya yang tebal dan terukir. Selama ini gue cuma bisa ngeliat dia dari bawah, secara dia 186cm, sedangkan gue cuma 156 cm.

"Nikah yuk?"



Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 24, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Asmara (A Lieutenant And A Socialite)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang