"Kiran!" Teriak Wak Kiki pagi sekali.
Aku yang baru tersadar dari alam mimpi hanya sempat mengerjap ngerjapkan mata sebelum kembali terlelap lagi.
Tok tok tok. Aku mengerjap bangun. Dengan mata menyipit aku melihat ke arah tirai jendela yang masih tertutup rapat tapi tidak bisa menyembunyikan sinar matahari yang sudah terik.
Bunyi ketukan lagi, aku melirik ke arah pintu, bukan dari sana asalnya.
Kubuka tirai jendela dengan sekali hempasan. Mataku terpaksa menutup karena matahari tepat menatap ke arahku.
"Kiran bangun dek," teriak Wa Kiki dari luar jendela.
"Wa Kiki?" Kataku bingung. Wa Kiki rupanya berada di halaman depan rumah dengan menggunakan baju olahraga hijau dan celana training hitam.
"Ayo bantu bersih-bersih," teriaknya lagi.
"Aku?" Dengan bodohnya aku menunjuk diri sendiri.
Wa Kiki mengangguk. "Buruan cuci muka, sikat gigi," katanya sambil menunjukkan sapu lidi dan serok di kedua tangannya. "Buruan dek"
Aku mengusap-usap muka kesal, lalu mengambil kaos lengan pendek berwarna hitam dan celana training selutut, sambil membawa skin care pagi di tangan yang satunya aku pergi menuju kamar mandi.
Butuh waktu sekitar 15 menit sebelum akhirnya aku sampai di pekarangan depan rumah.
"Apa yang bisa Kiran bantu Wa?" tanyaku.
Seluruh penghuni asrama sepertinya sedang berada di luar bersih-bersih. Banyak yang menatapku terheran-heran, apalagi kalau bukan karena bajuku yang beda sendiri dan mereka juga kaget melihat tiba-tiba ada anak gadis keluar dari rumah danyon mereka. Maklum akutuh anak rumahan yakan.
Aku yang ditatap seperti aku adalah Syahrini itu hanya senyum-senyum kecil, aku mengangguk-angguk sopan saat ada Ibu-ibu atau bapak-bapak yang menyapa.
"Ini dek, buangin sampah daun kering ini ke tempat kompos di belakang sana ya," kata Wa Kiki sambil memasukkan daun-daun kering ke dalam tempat sampah kuning yang bisa digeret kemana-mana.
"Belakang mana Wa?" tanyaku bingung. Ya yang bener ajalah, asrama segede ini, belakangnya pasti jauh kan. Dan sepanjang mata memandang hanya rumah-rumah saja yang kutemui.
Wa Kiki memberikan arahan "Jadi kamu liatkan rumah yang ada motor supranya itu, dari situ jalan aja lurus, habis itu ketemu rumah nomor 53 habis itu belok kanan, terus aja nanti kamu tanya aja orang di sekitar situ," jelasnya.
Apa daya aku hanya bisa mengangguk. Sambil menggeret tempat sampah yang beratnya mungkin melebihi berat dosa clubbingku selama ini, aku mencoba mengingat arahan Wa Kiki tadi.
Rumah ada supra lurus. Ketemu rumah nomor 53 belok kanan. Terus tanya orang di sana.
Pertanyaannya adalah mau tanya siapa?
Ralat, mau tanya yang mana. Setelah rumah nomor 53 yang kulewati aku berhadapan dengan makhluk laki-laki berkepala cepak atau semi pelontos sedang sibuk membersihkan selokan dan dedaunan kering.
Suara dari geretan bak sampahkupun membuat mereka semua menoleh serempak.
Aku mencoba tersenyum sopan.
Merasa bingung dengan tatapan mereka semua yang tak lepas menatapku, akupun mengingat-ingat apa yang salah dengan wajah atau pakianku.
Saat mengingat rutin berpakaianku pagi ini, aku baru ingat aku tidak memakai bra
Ya, bra.
Akupun langsung sedikit membungkuk lalu berjalan cepat melewati lautan lelaki ini, merekapun juga merasa tak enak sepertinya, mereka langsung kembali melanjutkan pekerjaan mereka. Dengan insting aku berbelok ke kanan, berharap berada di tempat yang tepat.
Dan, nafas lega kuhembuskan saat melihat tumpukan daun kering rupanya banyak terkumpul di suatu pandopo lumayan besar dengan peralatan kompos di belakangnya. Aku kembali menggeret tempat sampah kuningku ini bergegas ke sana.
Setelah sampai tepat di samping pendepo itu aku menemukan Arkan-sang Danki Kompi C, kata Wa Kiki, sedang mengumpulkan daun-daun kering yang berceceran di ujung-ujung pandopo menuju ke tengah dimana daun-daun kering sudah menumpuk.
"Mas, ini taroh dimana ya?" tanyaku
"Bawa sini," katanya, sambil menunjuk daerah samping padepokan dimana banyak tempat sampah kuning yang isinya sudah kosong terparkir di sana.
Setelah aku menaruh tempat sampah itu di sana, Arkan mengangkat tempat sampah itu dan menuangkan isinya ke tengah-tengah pendopo.
Wow. Entah pamer atau apa. Dia kuat banget anjir. Saat mengangkat tempat sampah tadi sampai otot-otot lengannya yang jelas terlihat dari kaos lengan pendek hijau pupus yang dia pakai ikut mengeras. Anjir dasar tukang pamer.
Suara hentakan plastik bertemu ubin mengakhiri ajang pameran otot oleh Arkan-sang Danki Kompi C.
"Sendirian aja, Mas?" tanyaku basa-basi sebelum pergi. "Anggotanya gak ada yang bantuin?"
Arkan-sang Danki Kompi C itupun mendekat ke arahku di bawah pendopo sambil mengusap dahinya yang berpeluh dengan pergelangan tangannya.
"Gak sendiri kan ada kamu di sini," katanya. Matanya yang awalnya melihat ubin saat berjalan ke sini sambil mengusap peluh itu akhirnya menatap mataku.
Masih mata tajam yang sama. Dengan sinar matahari pagi menjelang siang, aku baru menemukan fakta bahwa matanya ternyata berwarna almond, bukan hitam.
anjir cakep euy.
Tapi bukannya menatap balik, mata itu malah makin lama, makin menurun.
Baru aku tersadar, dengan ketidakhadiran suatu benda penanggung beban itu. Aku menutup dada dengan kedua tangan lalu berbalik dan berlari kencang.
-----------------------------
Setelah adegan bersama Arkan, aku langsung masuk ke rumah dengan tentunya tetap harus bertegur sapa dengan ibu-ibu dan bapak-bapak yang menegur saat aku berjalan cepat balik ke rumah.
Setelah masuk ke rumah, aku langsung mandi dan berpakaian layak. Lalu, membantu Wa Kiki dan ibu-ibu lain yang sedang menyiapkan snack dan minuman di aula.
"Dek Kiran jomblo apa udah ada yang punya nih?" tanya Mba Lala, salah satu anggota Wa Kiki yang menyusun kemasan air bersamaku sejak tadi.
Kalau ditanya status, jelas aku jomblo ngenes pake banget. Terakhir pacaran pas SMA, sekarang umur udah 22 masih seringnya diberi ketidak pastian.
"Jomblo mba, hehe," kataku sambil menyusun kemasan air menjadi piramida.
"Masa sih? padahal cantik banget lo kamu dek," katanya
"Mba bisa aja deh," jawabku sambil tertawa. "Saya cari yang abdinegara, Mba," kataku bercanda. Jujur, untuk segala pengobsesi terhadap yang berseragam, saya bukan salah satu kaum anda.
Aku tidak bisa membayangkan harus hidup dari satu asrama ke asrama lain, dari satu kota ke kota lain, dan menjadi ibu-ibu berbaju hijau pupus yang sering ditinggal oleh suami. Aku, Kiran tidak akan sanggup menjadi salah satu perempuan-perempuan hebat itu.
"Woah, iya kah, dek? di sini banyak loh yang masih jomblo," katanya.
Aku hanya tertawa menanggapi omongan Mba Lala. Tanpa sadar mataku menatap lurus dan melihat Arkan sedang berdiri mengobrol bersama dua temannya. Tidak bisa dipungkuri badannya yang lebih tinggi beberapa senti dan lebih kekar, membuatnya menjadi tampak menonjol.
Tatapannya beralih dari teman obrolnya menjadi lurus ke arahku saat disadarinya ada yang menatapnya terlalu lama.
Dia hanya menatap, sama sekali tidak berekspresi. Aku yang merasa canggung akhirnya melambai dan tersenyum kecil.
Dia membalas dengan senyuman.
Anjrit, jantung gue langsung jatoh ke lapisan tanah terdalam. Iya, gue se alay itu.
Arkan, lo bahaya.
****
KAMU SEDANG MEMBACA
Asmara (A Lieutenant And A Socialite)
ChickLitTentang kisah asmara yang tidak diinginkan awalnya. Semua tokoh, jalan cerita, dan tempat kejadian hanya fiksi. Dan sekali lagi cerita ini tidak diambil dari kejadian nyata (all pictures used on the cover are NOT MINE)