Apa yang Papa bilang terjadi juga. Hari minggu, aku dan Mama diboyong ke Balikpapan. Perjalanan dari Bandara Djuanda ke Bandara SAMS kuhabiskan dengan bermuram durja.
Tadi malam, Papa rupanya telah berhasil merayu Mama sehingga Mama kini dipihak Papa. Menelantarkan aku di kota minyak ini.
"Kita dijemput anak buahnya Om Bagus. Ayo, dia udah nunggu," kata Papa selepas kita mengangkut koper-koper dan oleh-oleh.
Aku berjalan dengan headset di telinga, rambut tegerai tertutup hoodie abu-abu kesayanganku. Tadi pagi, hampir aku tidak mau mandi sebagai bentuk protes, tapi apa daya Mama sudah turun tangan, tidak mungkin ia membiarkan anak gadisnya pergi tanpa mandi.
"Cepetan toh Ra," panggil Mama yang sudah jalan jauh di depanku.
Aku masih berjalan santai dengan dua koper besar untuk persiapan menetapku di sini.
Kacamata hitam yang kupakai menghalau sinar terik matahari siang saat kami sampai di area penjemputan. Rupanya sudah ada supir yang menjemput kami. Barang-barang Mama Papa sudah dimasukkan ke bagasi dan kedua orangtuaku itupun sudah duduk manis di dalam mobil.
"Dek, sini kopernya," panggil supir yang masih ada di belakang, mengatur barang di bekasi.
Setelah kulihat lebih dekat, rupanya dia bukan supir pada umumnya, melainkan anak buah Om Bagus di kesatuan. Terlihat dari pakaiannya.
"Makasih ya, Om," kata Mama saat om supir tadi selesai merapikan barang dan kami semua bersiap meninggalkan bandara dan menuju rumah Om Bagus.
Sungguh benar apa yang dibilang Papa, Balikpapan tak se 'kampung' yang kupikir.
"Sudah lama sama Bagus, Om?" Tanya Mama pada om supir
"Siap. Sudah bu, ini jalan 7 tahun, saya ikut sama Pak Bagus sejak beliau masih danki, Bu," jawab om supir
"Oh, masih jauh ini Om?" Tanya Mama saat kami melewati sebuah jalan yang di kanan kirinya terdapat sekolah-sekolah negeri.
Om supir menjawab, "tidak bu, ini udah bentar lagi sampai."
Tak lama kami mulai memasuki kompleks militer ditandai dengan bangunan-bangunan serba hijaunyanya yang asing dimataku.
Saat melewati gerbang, pintu kaca dibuka dan om-om penjaga gerbang langsung mengangguk ketika melihat om supir kami yang rupanya berpangkat pratu itu, entah apa artinya.
Kami melewati pos penjaga dimana setelah masuk gerbang besar itu langsung berhadapan dengan gedung gedung terbuka seperti aula yang berjejer, bersebrangan, ada juga lapangan olahraga. Tak lama dari pos itu kami disambut oleh rentetan rumah hijau pupus.
"Kalo ini rumahnya bintara, tamtama, pak, bu, dek. Kalau rumah Pak Bagus masih agak kedalam sedikit," ucap pak pratu.
Mama dan Papa asik menanyakan hal-hal tidak penting pada Pak Pratu sedangkan aku lebih memilih mendengarkan lagu sambil menatap keluar jendela.
So, ini kehidupan aku sekarang. Bakal dipenuhi oleh hijaunya dunia. Aku sangat awam terhadap dunia ini, yang kutau cuma mereka tentara dan bertugas menjaga negara.
Tak lama, pratu memberhentikan mobilnya di depan sebuah rumah sederhana, yang bertuliskan nama Om Bagus di depannya.
Kami sekeluarga turun sambil mengeluarkan barang-barangku yang seabrek. Kami disuruh masuk duluan sebab Pak Pratu yang ternyata bernama Doni itu sudah dibantu oleh rekannya yang sama-sama mengabdi pada Om Bagus.
"Assalamu'alaikum," ucap Papa sambil mengetuk pintu.
Tak lama, pintu terbuka dan Wa Kiki muncul dibaliknya dengan daster rumahan. Ia tampak kaget dan segera mempersilahkan kami masuk.
KAMU SEDANG MEMBACA
Asmara (A Lieutenant And A Socialite)
ChickLitTentang kisah asmara yang tidak diinginkan awalnya. Semua tokoh, jalan cerita, dan tempat kejadian hanya fiksi. Dan sekali lagi cerita ini tidak diambil dari kejadian nyata (all pictures used on the cover are NOT MINE)