#Sri, tok!
#Part_2
#Sylviana_Mustofa***
Suhu tubuhku panas dingin tidak karuan. Rasanya ingin lari saja dan menghindar, tapi amanat Ibu lebih penting dari itu semua. Aku menelan ludah beberapa kali untuk mengurangi ketakutan di hati. Dengan suara tersendat-sendat aku mencoba membuka mulut untuk bicara.
"Ja--jadi.Mas Bagus, bo--boleh kah saya bertemu Budhe Nur Fatmawati?"
Keringatku perlahan membanjiri wajah, hingga beberapa kali kuusap menggunakan ujung hijab.
"Kalau boleh tau, ada perlu apa, ya?"
"Sa--saya, hanya ingin me--menyampaikan amanat Ibu saya."
"Ibu Halimah?"
"Nggeh, Mas... " Aku terus tertunduk. Tak kuasa melihat wajah manusia yang beberapa hari lalu telah kurugikan itu.
"Namamu siapa?"
"Sri, Mas."
"Sri sopo?"
"Sri, tok."
"Namamu saja aneh banget, loh. Sri tok?" Dahinya berkerut, dengan tatapan aneh melihatku.
"Hu um."
"Yo wes, tunggu sebentar." Kemudian ia berlalu.
'Alhamdulillah, akhirnya dia pergi.'
Aku menarik napas lega bukan kepalang. Sebelah tanganku mengelus dada dengan mata terpejam, saking leganya.
Tidak berapa lama terdengar suara langkah kaki nyaring dari dalam. Aku mendongak, menatap siapa yang datang. Seorang wanita paruh baya dengan kebaya, lengkap dengan kain dan sanggul kepala. Ia memakai kaca mata. Melangkah anggun mendekat ke arahku. Dibelakangnya ada pria yang bernama Mas Bagus itu. Mereka seperti membisikkan sesuatu, tapi aku tak tahu apa itu.
Setelah sampai di hadapanku, sama seperti sebelumnya, ia menatap dari ujung kepala sampai ke ujung kaki. Aku kembali menyembunyikan sebelah kakiku yang memakai kaus kaki robek dibagian tumitnya.
"Saya, Nur Fatmawati. Apakah kamu cari saya, Nduk?"
"Nggeh, Bude. Kulo putrane Bu Halimah. Meniko titipan saking Ibu kangge njenengan." Aku menyodorkan amplop berwarna coklat sambil sedikit membungkuk setelah tangannya terulur.
Ia menatap bingung, kemudian membuka amplop itu. Ekor matanya nampak cepat berpindah ke kiri dan kanan, membaca surat dari Ibu itu. Sungguh, aku sangat penasaran akan isinya. Setelah cukup lama, ia menatapku dengan alis sudah saling bertaut. Kakinya melangkah maju dengan tangan terulur sebelah hendak menyentuhku.
"MasyaAllah ... ternyata kamu anaknya sahabatku. Rene, Nduk!" katanya merentangkan kedua tangannya. Meski pun ragu, akhirnya aku maju dan memeluknya.
"Jangan khawatir, aku pengganti Ibumu di sini, ya. Kamu akan tinggal di sini bersama kami." Aku terisak seraya mengangguk. Di peluknya erat tubuhku sambil mengusap-usap punggung.
***
"Bu, maksud Ibu apa mau menikahkan perempuan ini sama salah satu anak Ibu. Mas Haryo udah menikah dengan Mbak Anin. Mas Daro udah nikah juga sama Mbak Kiki. Terus Ibu mau nikahkan dia sama siapa?" tanya anak bungsunya itu bingung.
Ibu mengajakku masuk ke rumah besarnya dan duduk di sebuah ruangan. Aku masih memeluk kantung kresek berisi pakaianku ini erat. Bingung harus bersikap bagaimana. Apa mungkin Budhe Nur ini akan menikahkan aku dengan anaknya? Jika ia, tapi dengan siapa? Sejak tadi aku hanya melihat pria ini yang ada di rumah besar ini.