#Sri, tok!
#Part_3
#Sylviana_Mustofa***
Aku bingung harus bagaimana ini? Kalau ketahuan tentu dia akan marah sekali. Mencoba terus berpikir bagaimana caranya supaya tidak ketahuan, tapi aku janji akan jujur suatu hari nanti setelah hati ini siap untuk berterus terang. Bodohnya aku saat itu tidak mengecek alamat di KTP nya. Aku gelisah sendiri di dalam kamar mandi ini. Mondar-mandir kebingungan sambil berpikir keras dan terus mendengarkan.
"Iya, besok pagi saya ke sana ya, Dek. Suwon loh sudah dikabarin."
Dadaku kembang kempis mendengarnya. Kalau besok dia berangkat dan melihat CCTV itu tamat riwayatku. Aku berusaha tenang saat keluar kamar mandi setelah mengambil air wudhu, tubuh ini sudah memakai baju tidur berwarna merah dan hijab instan berwarna putih untuk menutupi kepala. Sebelum Mas Bagus masuk ke kamar aku memang sudah menyiapkan baju di kamar mandi untuk ganti.
Laki-laki itu menoleh saat melihatku keluar kamar mandi. Tak ada senyum, tak ada tatapan penuh cinta layaknya pengantin baru.
"Udah mandinya?"
"Sampun, Mas."
"Ya udah, gantian," sahutnya santai seraya meletakkan ponsel di nakas dan melepas pakaian.
Aku mengalihkan pandangan saat ia sudah bertelanjang dada. Seumur-umur aku belum pernah melihat pria tanpa pakaian, meski pun hanya baju atasnya saja. Sepertinya ia menyadari ketidaknyamananku. Mas Bagus tersenyum kecil seraya menggelengkan kepala melihatku, kemudian berlalu begitu saja ke kamar mandi.
"Siap-siap mau shalat Isya!" perintahnya sebelum menutup pintu dan aku segera mengangguk.
Aku membuka lemari dan mengambil mukena serta sajadah dan langsung membentangkannya, juga untuk Mas Bagus. Setelahnya duduk bersila menunggunya di samping ranjang. Suara gemericik air terdengar jelas dari sini. Hatiku semakin berdebar menunggunya keluar dari sana. Bagaimana kalau dia bercerita soal penjambret itu padaku. Ah, sepertinya aku terlalu berharap banyak. Tidak mungkin Mas Bagus semudah itu menerimaku dan menjadikanku tempatnya bercerita.
"Udah siap?" tanyanya tiba-tiba, ia keluar hanya mengenakan handuk di pinggang. Aku sampai kaget dan menutup muka dengan kedua tangan. "Kamu kenapa, Sri?" tanyanya terdengar membuka lemari.
"Maaf, Mas. Saya belum terbiasa," sahutku masih terus menutup wajah dengan tangan.
"Oh ... tenang saja, aku nggak akan buka handuk ini di depanmu," sahutnya dengan tenang. Aku hanya diam, dadaku bergemuruh seakan mau runtuh. "Sri ... sido shalat berjamaah nggak?" tanyanya tiba-tiba.
"Sido, Mas."
"Lah kok malah terus nutupin muka ki kepiye?"
Aku segera membuka wajah dan buru-buru berdiri. Memposisikan diri sebagai makmumnya. Agak takut aku melihat wajahnya yang bersih. Baju koko berwarna putih dan sarung berwarna biru langit sangat cocok di tubuhnya yang tinggi dan putih. Ia menggeleng melihat sikapku. Segera ia menghadap ke depan dan dipakainya peci cupluk berwarna putih di kepala, lalu bersiap mengimamiku.
"Allahuakbar!"
Kami shalat berjamaah dengan khusyuk. Suaranya merdu, membuat hati ini tenang dan nyaman. Selesai shalat ia menoleh ke belakang dan menyodorkan punggung tangan. Kuterima uluran tangannya dan mencium punggung tangan itu dengan takzim.
"Sri."
"Nggeh, Mas."
"Mulai hari ini kita sudah resmi menjadi suami istri. Jujur, Mas sebenarnya belum siap menerimamu menjadi istri. Bukan apa-apa, maaf sebelumnya. Sebenarnya ... kamu itu bukan type Mas."