#Sri, tok!
#Part_4
#Sylviana_Mustofa***
"Tadi Mas ke Jawa Timur untuk melihat sesuatu."
Deg.
Jantungku seakan berhenti berdetak. Aku terdiam, apakah dia sudah tahu kalau aku pelakunya?
"Sri?" panggilnya karena aku tiba-tiba mematung, kaus kakinya masih menggantung diujung kaki.
"Maaf, Mas," sahutku segera melanjutkan kegiatanku melepas kaus kaki di kedua kakinya.
Selesai melepas sepatu aku segera berdiri dan meletakkannya ke sudut kamar ini. Aku berniat keluar untuk membuatkannya kopi, tapi panggilannya menghentikanku.
"Kenapa, Mas?"
"Coba duduk sini dulu!" Ia menepuk bagian kosong di sisinya. Aku menurut, mendekat dan duduk disebelahnya. "Mas pengen cerita sesuatu." Dahiku berkeringat mendengar itu. Gugup dan takut kalau ia menceritakan hal itu. "Sebelum kamu datang ke sini, aku pergi ke kampung halamanmu karena urusan pekerjaan. Di sana, seseorang telah merampas dompetku."
"Te--terus ... "
"Tadi, Mas cek CCTV nya."
Jantungku semakin kuat bertabuh. Aku bersiap mendengar apa pun yang akan dikatakannya. Jika ia tahu dan marah padaku, InshaAllah aku rela, karena aku memang salah. Aku kembali mencoba memberanikan diri untuk bertanya.
"Apa ... Mas kenal sama orangnya?" tanyaku menatap wajahnya lekat. Sesekali punggung tangan mengusap dahi, mengelap keringat karena kegugupan ini.
Mas Bagus nampak berpikir yang membuat hatiku semakin tak menentu. Kemudian ia menoleh dan menatapku, lama.
"Nggak," katanya cukup jelas. Aku menarik napas, lega. "Bukan nggak kenal, sih. Hanya saja vidionya cuma terlihat dari belakang."
"Oh ... "
'Alhamdulillah ya Allah .... ' ucap syukurku sembari memejamkan mata.
"Sebenarnya Mas bukan mau minta kembaliin dompetnya, tapi ada sesuatu yang cukup berharga di sana dan Mas cuma punya satu, nggak ada gantinya."
"Kalau boleh tahu, apa Mas?" tanyaku, karena aku memang belum memeriksa semua isinya.
"Bukan apa-apa," jawabnya.
Aku bersyukur dia belum mengetahuinya, karena aku berniat jujur sendiri suatu hari nanti setelah benar-benar siap. Tapi aku jadi penasaran, barang apa maksudnya. Setelah itu Mas Bagus sepertinya tidak berniat kembali membahasnya.
"Mas, aku bikinin kopi dulu, ya!"
"Udah larut, nggak usah Sri."
"Oh, ya sudah."
Kini aku bingung harus bagaimana. Aku berdiri dan akhirnya memilih berbaring di ranjang. Sedangkan Mas Bagus langsung membersihkan diri di kamar mandi. Sementara dia mandi tubuhku bolak balik di kasur. Menghadap miring ke kiri salah, lalu berbalik menghadap ke kanan, salah juga. Aduhh!! Akhirnya aku beringsut duduk.
Bagaimana ini? Apa yang harus kulakukan. Aku menoleh ke belakang dan melihat guling tergeletak. Akhirnya kuambil dan kuletakkan di tengah kasur sebagai pembatas dan berbaring lagi. Dengan cara seperti ini semoga dia mengerti kalau aku belum siap melewati malam pertama.
Pintu terbuka, Mas Bagus keluar sudah memakai pakaian. Sepertinya dia paham kalau aku merasa tidak nyaman jika melihatnya hanya memakai handuk saja seperti kemarin. Ia melintas dan menoleh ke arah ranjang. Di pandanginya kasur ini, sepertinya dia memperhatikan guling yang terlentang di belakang tubuhku, cukup lama lalu menatapku sekilas. Setelah itu kembali melangkah menuju meja kerjanya.