Tidak pernah ada yang salah perihal takdir kehidupan. Termasuk itu adalah pertemuan.
_____________
"Jadi anak-anak kita harus senantiasa menjaga kebersihan. Dan yang tidak kalah pentingnya adalah disiplin. Ingat disiplin!!!"
Amanat membosankan dari Pak Hari selaku pembina upacara sudah lebih dari cukup membuatku menguap berkali-kali. Sikap siap sempurna dan pandangan lurus kedepan sudah tidak lagi aku hiraukan. Benar-benar bukan murid tauladan.
Brukkk
Seketika banyak tatapan mata yang menoleh kesumber suara. Terlihat anak kelas tujuh peserta didik baru yang sudah menyentuh tanah. Sepersekian detik kemudian disusul suara teriakan yang mengerikan dari anak itu.
"Hua hua hua." Teriakan mengerikan itu sukses membuat anak kelas tujuh disekitarnya berlarian. Aku yang sebenarnya tinggal 5 watt karena begadang semalam tiba-tiba jadi segar bugar saking kagetnya. Serem cuy.
'Ini ada apa sih?' Batinku meronta-ronta.
Ocehan Pak Hari sudah tidak ada yang menghiraukan lagi. Bahkan berkali-kali beliau mengatakan agar kita semua tenang, tapi tetap saja anak-anak masih berlarian.
"Woy kesurupan itu, bacain ayat kursi bacain!!!" Ceplos Risma pada salah satu anak kelas tujuh.
"Halah, laper kali dia. Kasih receh-kasih receh"
"Jangan dia yang dibacain, Pak Hari aja"
"Wah bener tuh"
"Gini nih kalo kebanyakan dosa"
"Liat tuh mukanya Pak Hari, diem-diem bae. Wah belum pernah kemasukan ini"
"Pak woy, ini kesurupan bukan iklan marjan. Bantuin napa!!! Etdaaahhh ngegas gue"
"Sini-sini minggir"
"Lu mau bantuin?"
"Bukan, gue mau tambahin roh jahatnya"
"Sarap lu"
"Yaudah, comberan mana comberan?"
"Lah kok comberan sih? Air zam-zam dong biar agak keren dikit"
Beberapa desas-desus yang kudengarkan dari anak-anak kelas sebelah. Oh iya, hanya kelas tujuh saja yang sudah tidak tertata. Sedang kelasku kelas delapan dan kelas sembilan hanya sedikit rusak. Kemudian pandanganku terfokus pada dua orang yang muncul dari arah utara. Yang satu sudah ku kenal dan sangat familier sekali, ia adalah Pak Yanto. Guru olahraga yang katanya indigo, mungkin. Dan satunya lagi sosok jakung yang belum pernah kutemui sama sekali. Dia aneh dan langka, ia berpeci. Seakan orang yang tahu semuanya, mereka merapalkan sebuah doa yang sukses membuat anak itu diam.
"Eh eh diem tuh, wah hebat cuy"
"Mata lu biasa aja dong, gitu amat liatnya." Sarkasku pada Alda.
"Anjir, biarin napa. Gue lagi liat keajaiban dunia ini." Belanya.
"Masya Allah calon imam idaman banget" Seketika aku menoleh kaget pada Vinda yang bermonolog. Bisa-bisanya ia berpikir seperti itu, kebelet nikah atau gimana nih anak?
"Mau nikah muda bund? Sama Pak Yanto? Siap jadi istri kedua? Fiks, kuat banget iman lu"
Dengan gerakan cepat, Vinda memukul pelan kepalaku. "Kebanyakan nonton sinetron sih lu. Bukan Pak Yanto yang gue maksud, sebelahnya itu loh anjimmm banget. Cogan berpeci lurr."
KAMU SEDANG MEMBACA
SEMESTA
Random. . . "Halah, kamu pasti nangis kalo saya nikah" "Sok tau huuu, bapak kalo nikah nih, saya ikut lah" "..." Duhai mata yang menentramkan, duhai mulut yang bertutur indah, duhai salah satu insan. Aku menulis tentang dirimu yang sederhana, namun...