The start of a journey
_______
"Bapak ngapain disitu?" aku sedikit berteriak memanggilnya. Sebuah pertanyaan yang bodoh memang. Pasalnya pria yang sedang kucari sudah terpampang jelas sekali tengah bermain bola sekarang.Banyak pasang mata yang menatapku aneh. Disini aku bukan seorang perempuan yang sedang menyaksikan pacarnya bermain sepak bola yang sesekali berteriak menyemangatinya, atau yang setia membawa minuman untuk pacarnya saat permainan itu dijeda. Sama sekali tidak, itu terlalu klise.
Mungkin wajahku sudah merah padam sekarang, panas matahari sukses membuat peluh ini berjatuhan. Lagi-lagi banyak pasang mata yang menatapku aneh, aku mulai kesal. Seseorang yang sedang kucari tetap asyik dalam perminannya.
"Pak buset, panas elah pak woy"
Sempurna, teriakanku kali ini sukses membuatnya menoleh.Pria itu mendekat terengah-engah mengatur deru nafasanya. "Kamu tunggu di mushalla ya, nanti saya samperin" katanya memerintah.
Sebel, dasar bapack bapack alay.
Aku berjalan malas menuju mushalla, kembali lagi menyusuri koridor dengan membawa penuh kewibawaan. Biasa, bawaan kakak kelas aura seremnya harus nambah biar disegani gitu sama adek kelas.
Kakak kelas gila hormat emang.
Tidak beberapa lama pria jakung itu sampai, kentara sekali ia yang selesai bermain sepak bola.
"Bangun, Manusia kok hobinya rebahan, mau belajar mati?"
Ah, meleset, permen susu satu-satunya yang kupunya berakhir kandas dilidah Pak Hakim."Bapak, itukan punya saya" kataku memeles
"Siapa cepat dia dapat dong" katanya tetap dengan wajah tanpa dosa.
"Inget umur kali pak"
"Emang kenapa, saya kan masih muda"
Aku membuang nafas kasar. "Dengan penuh keterpaksaan iyain aja deh"
"Gejala dengki. Iri, bilang bawahan" Sahutnya dengan tawa yang mengudara. Tepat sekali, saat ini aku sedang duduk dibawahnya.
Adab kepada guru sebagai alasan utama membuatku sepakat untuk duduk lebih rendah dari Pak Hakim.
"Benerin tuh peci" aku berkata ketus, Pak Hakim menggunakan pecinya dengan asal. Aku pernah bilang kan, pria itu gemar sekali memajukan pecinya. Nah, lagi lagi ia menggunakannya seperti itu sekarang.
"Nggak ah,"
"Nanti keimutan saya nambah,"
"Kegantengan saya naik lima puluh persen,"
"Terus yang suka sama saya tambah banyak"
"Yang ngefans sama saya makin bejibun-jibun"
"Kan nanti saya juga yang repot kalau banyak yang minta tanda tangan"
Aku berkali-kali memutar bola mata jengah, pria ini penyakitnya kambuh lagi.
" Jangan maruk Pak semuanya diambil sendiri. Yakali saya percaya sama bapak, Musyrik. Nggak inget apa, udah kepala,-"
"Kepala saya satu Dinatul, kamu kira saya kembar siam apa?"
"Dih, baper"
Sepertinya Pak Hakim mendengarkan ucapanku, ia membenarkan posisi peci yang tak tertata rapi, seketika membuat mataku melebar sempurna. Aura kegantengannya nambah semesta, aku harus apa?
KAMU SEDANG MEMBACA
SEMESTA
Random. . . "Halah, kamu pasti nangis kalo saya nikah" "Sok tau huuu, bapak kalo nikah nih, saya ikut lah" "..." Duhai mata yang menentramkan, duhai mulut yang bertutur indah, duhai salah satu insan. Aku menulis tentang dirimu yang sederhana, namun...