Jangan terlalu meneduhkan, itu akan membuatku jatuh lebih dalam.
________
Bau parfum yang tidak asing menyeruak ke indra penciumanku. Rupanya, Pak Hakim dan Pak Hakam mendekat berasamaan dengan teman-temannya yang berpakaian serba putih.
Semua semakin dibuat histeris dengan Pak Kembar yang semakin mendekat denganku, ditambah posisiku yang sekarang ini berada di dekat para siswi. Teriakan menganggu lebih dari cukup membuatku bosan.
"Pak woy mundur dikit, gantengnya kelewatan"
"Itu orang apa rumus matematika? Buset gantengnya kuadrat"
"Fiks fotokopian bang haechan sama kembarannya nih, imutnya nggak ngotak"
"Bentar-bentar,"
"Kayaknya Penghuni firdaus jatuh kebumi deh"
Satu kata, Alay.
"Saya yang baca Maulid Diba' nanti" Bisiknya dengan suara yang khas padaku. Kuulang, dengan suara yang khas. Aku menoleh, kudapati Pak Hakim yang tersenyum dengan mata yang amat meneduhkan.
Kumohon jangan terlalu meneduhkan. Bagaimanapun aku tetaplah wanita biasa. Kau yang begitu teduh membuatku berharap jauh. Lalu hal yang paling mengerikan ketika berharap selain Kepada-Nya adalah hati ini akan jatuh terlalu dalam. Berakhir menyedihkan dan sendirian.
Freeze, tubuhku membeku. Mendadak semestaku seakan meluncurkan ribuan kembang api. Bintang dalam tubuhku bersinar begitu terang. Jangan lupakan makhluk bernama jantung ini yang sedari tadi berdetak tak beraturan, hingga aku hanya mampu mengangguk begitu saja. Aish, tolong jangan sekarang. Fokus Dinatul.
Biarkan aku mengatakan jika detak yang berdegup kencang akan seringkali menjadi teman.
"Shodaqallahul'Adhim, Maha benar Allah dengan segala firman-Nya. Acara selanjutnya pembacaan maulid Diba' yang akan dipimpin oleh bapak ustadz Abdul Hakim, bapak Ustadz Abdul Hakam dan kawan-kawan. Kepadanya disilahkan"
Aku turun, kemudian teman-teman Pak Hakim satu persatu naik keatas panggung. Huh, bau parfum itu kembali meyeruak. Tolong jantung gueh mau maraton. Adik dari pak Hakam itu melepas jaket, "ini kamu yang bawa"
Aku diam.
Aku bungkam.
Jantungku berdetak tak karuan.
Ujian apalagi ini semesta?Jika ada yang bertanya bagaimana ekspresiku sekarang, maka jawabannya adalah cengo. Aku bingung, tatkala pak Hakim dengan tanpa dosanya meletakkan begitu saja jaketnya pada pundakku, sepersekian detik kemudian ia berlalu. Catet, dengan ekspresi tanpa dosa. Iya, dosa karena telah membuatku olahraga jantung lebih lama.
Aku duduk menepi tapi masih tetap berada diposisi paling depan, bergabung bersama panitia yang lain. Ada beberapa guru disana, ada Tariffa, Mbak Intan, Mbak Anna, Risma, adek-adek yang lain, dan jangan lupakan si Bu Ketua Nabila Ferena. Aku biasa memanggilnya Bu Bos biar beda sama yang lain tapi sebenarnya sih biar kelihatan keren gitu. Iya tahu alay, jangan diketawain.
Lalu tak beberapa lama Pak Hakim memulai bacaannya. Sholawat itu terlantun dengan sangat indah. Benar-benar semakin membuat kalam pujian untuk manusia termulia menjadi semakin sempurna.
"Gimana, bagus kan hp bapak"
"Made in China, tuh liat"
"Belinya pake uang yang nol nya ada enam ituloh"
"Layar sentuh nggak ada obat emang"
Setelah mendekat Pak Guru Botak--Pak Edi memamerkan ponsel barunya kepada kami. Pria yang hampir berkepala enam itu terlihat antusias menunjukkan isi ponselnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
SEMESTA
Random. . . "Halah, kamu pasti nangis kalo saya nikah" "Sok tau huuu, bapak kalo nikah nih, saya ikut lah" "..." Duhai mata yang menentramkan, duhai mulut yang bertutur indah, duhai salah satu insan. Aku menulis tentang dirimu yang sederhana, namun...