3. Tawaran

20 6 0
                                    

Apa kau pernah dipaksa bangun oleh suara alarm yang terlalu keras? Tubuhmu tersentak dan kesadaranmu rasanya seperti ditarik paksa begitu saja untuk aktif. Begitulah yang dirasakan Lilura dan Hiro saat ini. Keduanya tersentak begitu saja saat terbangun. Tidak ada rasa kantuk, hanya menyisakan detakan jantung yang beradu dengan cepat. Keduanya hanya dapat mendengar suara napas masing-masing yang tersengal dalam beberapa menit awal.

Hiro dapat merasakan kedua tangan dan kakinya terborgol ke kursi. Refleks, ia pun menolehkan kepalanya ke samping untuk memastikan keadaan kaki dan tangannya. Tingkah Hiro justru mengantar pandangannya ke arah Lilura yang juga sedang terduduk di sebelah kiri. Pupil matanya membesar begitu melihat gadis sembilan belas tahun itu. Untuk sesaat, Hiro melupakan fakta bahwa mereka sedang terborgol. Kesempatannya untuk menegur Lilura rontok ketika seseorang memulai percakapan lebih dulu.

"Hara memang selalu tepat waktu dalam menggunakan kemampuannya."

Hiro mengernyit. Dengan enggan ia menolehkan kepalanya kembali ke depan. Ternyata terdapat seorang lelaki yang sedang mengaduk kopi di koridor. Mau tidak mau, Hiro pun memandang seorang lelaki yang baru saja bicara itu. Sepertinya ia jauh lebih muda dari Hiro, dilihat dari figur diri dan wajahnya. Setelah memerhatikan lebih jauh, Hiro tersadar bahwa lelaki itu adalah anggota BPKK dari lambang lembaga yang tersemat di lengan kemeja putihnya.

"Vaughn?"

Lelaki yang sudah selesai mengaduk itu tersenyum miring. Seraya membawa gelas kopinya, lelaki yang dipanggil Vaughn itu berbalik menghadap Lilura. Senyum miringnya belum luntur juga. "Selamat datang, Lilura."

Hiro terkejut mendengar interaksi keduanya. Spontan Hiro berseru, "Kau kenal dengan remaja itu, Lilura?!"

Raut wajah Vaughn berubah menjadi jengkel seketika. Ia menatap Hiro dengan senyum masam. "Umurku 24 tahun."

"Ah ... eh maksudku kau awet muda sekali!" sembur Hiro yang langsung dilanda rasa panik. Mulutnya kembali berusaha untuk berdalih. "Sungguh! Kau terlihat seperti model iklan—"

Hiro langsung menutup mulut saat pandangannya bertemu dengan Lilura yang memelototinya. Buru-buru ia menunduk untuk menutupi rona merah di wajahnya. Lalu ia pun berujar dengan pelan, "Maaf."

Lilura mengembuskan napas keras sekali sampai-sampai rasanya Hiro ingin menciut menjadi semut saja saat itu. Pandangan Lilura beralih ke Vaughn. "Mohon maafkan anak ini. Reaksinya terhadap konfrontasi selalu buruk."

"Yah," ucap Vaughn pelan seraya menyeruput kopi, "setidaknya ada yang lebih buruk dari itu."

Hanya dalam beberapa tegukan Vaughn langsung menghabiskan kopinya. Ia pun menaruh gelas kembali ke meja dan memilih duduk di samping gelas itu. Senyumnya kembali ia sunggingkan. Kali ini kesannya lebih ramah dari sebelumnya. "Sudah cukup lama ya, Lilura? Kau terlihat lebih berbeda kali ini."

"Tidak terasa ya," jawab Lilura yang juga ikut tersenyum tipis. "Sayang, kali ini justru kita bertemu dengan keadaanku yang terborgol."

"Kau benar-benar kenal dia?" tanya Hiro dengan setengah berbisik. Ia masih enggan mengangkat tundukan kepalanya.

"Kami bertemu saat kerja," jawab Lilura dengan enggan.

Hiro menoleh ke arah Lilura dengan tatapan tidak percaya. "Tapi aku tidak kenal dengannya. Bagaimana—"

Lagi-lagi Lilura langsung memotong ucapan Hiro dengan kesal, "Aku bekerja tanpa rekan selama hampir setahun, Hiro."

Belum cukup, kali ini Lilura menatap wajah Hiro lekat-lekat. Senada dengan tatapannya yang sinis, Lilura bertanya dengan tajam, "Apa kau telah melupakannya?"

EvanescentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang