Pada awalnya tidak terasa apa-apa. Segalanya hanya membaur menjadi ketiadaan. Tanpa suara, tanpa cahaya, tanpa eksistensi. Tidak ada yang berbeda. Selayaknya tidur seperti biasa.
Namun, seiring berjalannya waktu, ia dapat merasakan keberadaannya lagi. Kali ini rasanya sedikit berbeda. Ia tidak dapat merasakan dingin atau panas di sekitarnya meskipun kesadarannya semakin terkumpul. Seakan-akan semua saraf pendeteksi temperatur benar-benar berhenti bekerja.
Ketika kesadarannya penuh, Lilura pun membuka kedua matanya. Butuh beberapa detik baginya untuk menyadari ada di mana dirinya sekarang. Ruang hampa tanpa sekat berbalut warna abu gelap yang kental. Ini adalah alam bawah sadarnya.
Untuk Lilura, memiliki kesadaran penuh dalam alam bawah sadar bukanlah hal yang luar biasa. Ia pasti akan ke tempat ini di saat sisi iblisnya meronta untuk keluar. Kali ini pun bukan sebuah pengecualian.
Lilura menatap ke arah bayangannya di permukaan kaca besar tak jauh di depannya. Sosok iblis bersayap hitam dengan pendar api menatap balik dari sana. Gadis itu tersenyum lebar. Ia menempelkan tangan kanannya di kaca. Matanya yang berwarna merah menyala terlihat begitu haus akan kesempatan untuk keluar.
Lilura membalas senyum sosok itu dan mulai mendekati kaca.
"Kenapa kau tidak membiarkanku keluar?"
Lilura tidak menghentikan langkahnya. "Tidakkah kau letih? Aku sungguh membutuhkan istirahat sekarang."
"Letih?" Suara sosok tersebut terdengar serak. Ia memang sempat menjerit-jerit saat keduanya berada di ruangan bebas kemampuan khusus milik Vaughn. "Kau kira memberi kedua laki-laki itu pelajaran tidak penting?"
"Tentu penting. Kau tahu betul bagaimana perasaanku."
Lilura telah sampai di depan kaca. Sekarang keduanya dapat saling bertatapan dengan lebih nyaman. Sebenarnya, Lilura paham keinginan dirinya di seberang sana. Ia hanya tidak ingin mengikuti kemauan sosok itu terlalu sering.
"Tapi apakah kita benar-benar perlu menghabiskan sisa energi kita hari ini untuk melakukan pembalasan?" ucap Lilura dengan lembut. Bertahun-tahun berusaha melawan dirinya sendiri, Lilura sudah tahu pasti hasilnya tidak akan baik. Maka kali ini yang bisa Lilura lakukan hanya lah bernegosiasi dengannya.
Raut wajah sosok di depannya berubah masam. Semakin hari, semakin sulit baginya untuk membujuk Lilura dalam melakukan hal-hal yang ia inginkan. Sebelum ia protes, Lilura menempelkan tangan kirinya di kaca, persis di tempat tangan kanan sosok iblisnya. Ia berbisik, "Mari kita sudahi hari ini dengan beristirahat ya?"
Sang iblis terdengar menggumamkan kata-kata yang tak enak didengar. Namun ia tidak berontak saat Lilura secara tak langsung mengajaknya untuk menutup mata dan menyudahi pertemuan mereka malam ini. Tak butuh waktu lama, keheningan kembali menyelimuti mereka. Lilura sudah hampir meniadakan eksistensinya dalam alam bawah sadar ketika suara bisikan lain memanggil namanya—
"Proserpina...."
Suara tersebut membuat Lilura terkesiap. Di depannya sudah tidak ada lagi keberadaan sosok iblisnya itu. Nuansa ruangannya pun berbeda dari sebelumnya yang berwarna abu menjadi putih susu. Lilura tidak yakin ini adalah alam bawah sadarnya.
Belum sepenuhnya paham tentang keberadaannya, Lilura lagi-lagi mendengar suara halus dari bawah. Refleks, ia pun menunduk untuk mencari dari mana asal suara tersebut. Seketika wajahnya memucat saat sadar seekor kelinci putih lah yang mengeluarkan suara halus tersebut.
Tanpa sadar, Lilura langsung melangkahkan kakinya ke belakang, tak ingin berada di dekat kelinci tersebut. Meski begitu ia tak dapat berhenti memandangi kelinci itu dengan kengerian. Otaknya berusaha keras untuk menyuruh Lilura bergerak, tapi tubuhnya hanya mematung kaku.

KAMU SEDANG MEMBACA
Evanescent
FantasiLilura pergi ke Cleon untuk mengikuti Festival Apollinaris sekaligus kabur dari pekerjaannya. Sialnya, di tengah jalan ia malah bertemu dengan mantan rekan yang mengkhianatinya, Hiro. Rencananya semakin kacau saat Badan Pengawas Kemampuan Khusus ber...