2. Paman Koki yang Aneh

28 7 0
                                    

Kala itu, sudah saatnya jam makan siang. Lilura menempati sebuah meja di gazebo kecil. Gazebo kecil ini berada di dekat taman. Letaknya sedikit lebih jauh dari meja-meja lain yang dipakai untuk makan siang juga. Lilura selalu makan sendirian di gazebo tiap hari. Ia tidak keberatan. Ibu angkatnya menyarankan Lilura makan sendirian untuk menghindari amukannya yang sewaktu-waktu bisa tak terkendali. Tentu tidak ada yang ingin seorang anak setengah iblis mengamuk di saat makan bukan?

"Hiro! Hiro! Ayo duduk di sini saja!"

Panggilan dari seorang anak perempuan membuat Lilura kecil memandang ke arah Hiro, anak laki-laki yang sudah menjadi 'penetral' sisi iblis dirinya sepanjang beberapa bulan ini. Ia memerhatikan Hiro yang datang ke arah meja tersebut dengan wajah datar. Benaknya sibuk menerka-nerka apa yang sebenarnya terjadi di meja itu. Mengapa semua wajah mereka berbinar? Apa yang mereka tertawakan?

Untuk sesaat, Lilura kembali menunduk untuk melihat piringnya sendiri. Hanya dua potong kentang rebus dengan telur. Tampaknya tidak jauh berbeda dengan makanan yang berada di piring mereka. Lantas mengapa tiap kali jam makan datang, wajah mereka menjadi bersinar? Lilura tidak mengerti sama sekali. Kepalanya tak sanggup menjawab semua pertanyaan yang ia lontarkan.

Ketika Lilura mengalihkan pandangan ke arah meja itu lagi, ia mendapati Hiro sedang memandanginya juga. Anak lelaki itu terlihat terkejut. Ekspresinya berubah menjadi tidak enak dipandang. Lilura kenal dengan ekspresi itu. Ia sering menerima ekspresi serupa dari orang-orang yang duduk di sekitar Hiro.

Sayangnya Lilura juga tidak bisa mengerti mengapa setiap kali pandangan mereka bertemu, ekspresi yang Hiro tampilkan berbeda dengan yang ia beri kepada orang lain. Entah mengapa pula, rasanya ada batu yang mengganjal di dada Lilura tiap kali ekspresi itu dilemparkan kepadanya. Apa yang membuat ekspresi itu terus ditujukan kepadanya? Apa memang begitulah seharusnya? Memikirkan hal-hal itu justru memancing gejolak dalam diri Lilura. Rasanya seperti ada sosok yang mencakar-cakar ingin segera keluar dari dalam tubuh mungilnya itu.

Di tengah kekalutan yang dialami Lilura, tiba-tiba terdengar sebuah suara dengan nada ceria. Katanya, "Ah makanmu belum selesai ya? Apa kau mau puding juga?"

Lilura melirik ke arah pria di sampingnya dengan wajah yang tetap datar. Ia tidak pernah melihat pria ini sebelumnya. Batu yang mengganjal di dada Lilura terasa sedikit terangkat saat ia sadar, pria di sampingnya ini memberikan ekspresi berbinar yang sama dengan yang Hiro berikan pada orang lain. Meski perasaannya lebih baik, Lilura justru dibuat semakin bingung. Lantas ia hanya diam mematung.

Aura kehangatan menyelimuti pria itu dengan utuh. Ia tertawa kecil saat sadar bahwa Lilura jadi kebingungan karenanya. "Maaf, Nak. Aku adalah koki baru di sini. Kau bisa panggil aku Paman Antonio. Bagaimana denganmu?"

Lilura mengerjapkan kedua matanya tidak percaya. Ia menjawab dengan sedikit ragu, "Namaku Lilura, Paman Antonio."

Senyum Paman Antonio justru semakin hangat, membuat Lilura terkesima dibuatnya. Gadis kecil itu merasa seperti baru saja bertemu makhluk lain. Ia tak menyangka ia juga boleh diberikan ekspresi semacam itu.

"Ah yang paling terkenal diantara yang lain ya?" Senyumnya masih tidak luntur juga. Paman Antonio menyodorkan sebuah nampan berisi beberapa puding dalam wadah plastik kepada Lilura. Ia lalu melanjutkan, "Lilura lihat? Sekarang ini, aku punya dua jenis puding. Yang satu rasa cokelat dan yang satu rasa mangga. Aku biarkan kau memilih diantara keduanya, bagaimana?"

Lilura semakin yakin bahwa Paman Antonio itu makhluk yang jauh lebih berbeda darinya maupun orang-orang di sini. Ia tidak terbiasa diberikan pilihan. Lilura terlalu sering menghancurkan apa pun yang ada di sekitarnya hingga tidak ada yang berani mengambil resiko untuk memberikan pilihan padanya. Gadis kecil itu menelan ludah sebelum akhirnya menunjuk ke arah puding berwarna kekuningan.

EvanescentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang