Prolog

110 15 0
                                    

"Bangun, Nak! Bangun!"

Suara bergetar itu membangunkan Hiro. Entah mengapa, tubuhnya terasa kaku dan dingin. Untuk sesaat, Hiro menganggap suara tadi hanyalah bagian dari mimpinya. Tepat ketika kesadarannya hampir menghilang lagi, dua tangan menggoyangkan tubuh Hiro dengan cepat. Terkejut, Hiro pun sadar sepenuhnya. Matanya memandang nanar ke arah seorang pria dewasa di depannya.

Tubuh Hiro terlalu kaku untuk bergerak banyak. Pada akhirnya ia hanya menaikkan sedikit kedua alisnya untuk memberi sinyal bahwa ia sudah bangun. Pria di depannya terlihat sangat berkeringat, sangat berlawanan dengan Hiro yang menggigil. Tekanan kedua tangan pria itu semakin kencang di tubuh Hiro. Rasanya seperti enggan membiarkannya kabur. Mungkin pria itu tidak paham, sekaku apa tubuh Hiro saat ini.

Kali ini, pria itu mencoba untuk memelankan suaranya. "Nak, ini sudah saatnya. Kami kira kami bisa menahannya lebih lama. Kami membutuhkanmu."

Seketika berbagai ingatan menghantam kepala Hiro tanpa aba-aba. Kengerian mulai merasuki jiwanya. Dengan segenap kekuatan yang ia punya, Hiro menyentuh salah satu tangan pria itu dan berkata, "Tapi ... bukankah....."

"Dengar, Nak. Kau harus tabah," pandangan pria itu berpaling dari Hiro ketika mata Hiro mulai berkaca-kaca. Ia meneruskan, "Kami memang salah dalam memprediksi. Tapi kekuatan Nona langsung hilang kendali begitu saja sedangkan jumlah kami sudah berkurang karena insiden sebelumnya. Jika kau tidak siap, hanya Tuhan yang tahu bagaimana nantinya."

Hiro berusaha sebisa mungkin untuk menahan tangisnya. Terlalu banyak emosi yang ia rasakan. Hiro sudah tidak bisa mengenali perasaannya lagi. Jantung Hiro pun mulai berdetak kencang saat ia melihat tanda perisai perak di pergelangan tangan kanannya. Ia harus siap demi adiknya, Seira.

"Aku siap," ujar Hiro akhirnya dengan tubuh yang semakin menggigil. Untuk sepersekian detik, terdapat jeda tak mengenakan yang menguar dari keduanya. Tanpa melihat Hiro, pria dewasa itu pun melepaskan kedua tangannya.

"Ayo," ucap pria itu seraya mengulurkan tangan.

∆∆∆

Tiga hari yang lalu, kehidupan Hiro masih berjalan seperti biasa. Di pagi hari ia akan berangkat ke sekolah, belajar, lalu pulang lagi di siang hari. Senyum hangat ibunya, rasa roti dan keju yang dihidangkan, teman-teman di desa—Hiro ingat semuanya. Entah karena alasan apa, hidupnya terasa diputarbalik begitu saja setelah hari itu. Hari di mana pembantaian dilakukan.

"Lewat sini!" seru pria itu dengan volume sedang.

Hiro berusaha mengikuti kecepatan lari sang pria dewasa yang bahkan ia tak tahu namanya itu. Dalam hati ia sedikit bersyukur pria itu mau menggandeng tangannya karena kalau tidak, bisa saja ia sudah terjungkal dari tadi. Untuk beberapa saat Hiro menatap wajah sang pria dari samping. Ia mengenal ekspresi itu. Ekspresi yang ditampilkan saat ketakutan melanda.

Hiro juga merasakan hal yang sama. Perasaan yang dirasakannya entah sejak kapan terasa lebih menyudutkan Hiro. Ia merasa perasaan itu akan menelan bulat-bulat dirinya tak lama lagi. Hiro ingin sekali kabur, kembali ke desa menggunakan kekuatannya. Tapi pemikiran ngeri akan nasib adiknya, Seira membuat Hiro mendorong jauh-jauh niatannya itu.

Semakin lama semakin terasa adanya goncangan dari tanah, seperti gempa berskala kecil. Kali ini Hiro benar-benar nyaris jatuh tapi sang pria dewasa berhasil membuatnya tetap berlari. Mereka terus berlari melewati beberapa blok bangunan yang Hiro baru lihat sampai akhirnya mereka sampai di pusat goncangan.

Hiro menelan ludah. Jantungnya semakin berdetak tak karuan saat melihat pemandangan di depannya. Ia menggenggam erat tangan sang pria dewasa yang berada di sampingnya. Perut Hiro terasa sakit, rasanya seperti dipelintir secara paksa.

Sekitar sepuluh sampai lima belas meter di depan, berdiri seorang perempuan seumuran Hiro yang sedang dikelilingi tiga pria. Hiro ingat namanya adalah Lilura. Ia bertemu dengannya kemarin dalam keadaan terikat di rumah ibadah. Kali ini gadis itu bebas. Lilura sedang menyerang ketiga pria dewasa itu dengan tanah dan api. Dialah yang menyebabkan goncangan. Lilura memaksa tanah untuk keluar dari tempatnya lalu membentuknya menjadi duri-duri kecil di sekitar tiga pria itu.

"Sudah saatnya, Nak."

Hiro tercekat. Ia tidak ingin melakukannya. Ia hanya ingin pulang, kembali ke rumah bersama adiknya. Pada akhirnya ia berujar dengan pelan, "Tapi dia itu ... setengah iblis. Bagaimana caranya supaya aku bisa mendekat?"

Lilura memang bukan anak kecil biasa. Dari jarak ini pun orang bisa menyadari keanehan fisik Lilura. Iris matanya semerah darah. Tubuhnya juga berpendar dalam balutan api. Tapi justru bukan itu yang dapat meyakinkan orang bahwa ia bukan hanya manusia. Ekspresi wajah dan tawa yang selalu ia keluarkanlah yang sangat mengerikan. Hiro juga dapat melihat, terdapat bercak darah yang menempel di beberapa bagian pakaiannya. Bagaimana mungkin anak berumur sepuluh tahun seperti Hiro bisa mendekatinya begitu saja?

"Bukankah kau bisa berteleportasi? Itu akan sangat membantumu untuk mempersempit jarak dengannya," ucap sang pria dewasa di sampingnya.

Hiro menjawab dengan suara yang bergetar, "Maaf, Pak. Tapi sepertinya aku tidak bisa menggunakan kekuatan kalau tidak fokus."

"Sangat disayangkan," terdapat nada penyesalan pada respons sang pria. "Tidak ada jalan lain, Nak. Berlarilah ke sana."

Bersamaan dengan itu, terdengar jeritan dari salah satu pria yang sedang berusaha mematikan api dari tangan kanannya. Pria di sebelah Hiro langsung melepaskan genggamannya. Ia pun berusaha mengontrol kayu dari pepohonan untuk melindungi pria yang terkena api tadi.

"Sudah tidak ada waktu, Nak! Laksanakan tugasmu!"

Semua teriakan untuk kabur berdengung di seluruh tubuh Hiro. Kalau saja ia bisa fokus, mungkin persentasenya untuk selamat dapat lebih tinggi. Tapi sudah tidak ada waktu, maka Hiro pun mulai berlari.

Tepat ketika Hiro memutuskan untuk berlari, Lilura langsung mengalihkan pandangannya. Pandangan keduanya bertemu. Lilura menyeringai seraya menelengkan kepalanya ke arah Hiro. Nyali Hiro semakin ciut ketika Lilura berkata, "Hiro ya?"

Lilura langsung memunculkan duri tanah besar di dekat Hiro. Hiro pun berusaha menghindar dan menjaga keseimbangannnya. Ia sibuk menghindari duri-duri tanah di kanan kirinya hingga tak sempat berhenti saat sebuah duri tanah muncul tepat di hadapannya. Hiro terkejut dan mulai oleng. Tanpa sadar ia menggunakan kekuatannya saat itu lalu menghilang.

Lilura menoleh ke kanan dan ke kiri. Ia tidak melihat Hiro di manapun. Kedua tangannya sedang sibuk menahan serangan dari pria-pria lainnya. Lilura terlambat bereaksi ketika dari atas Hiro muncul.

Lilura menggeram, "Kau...!"

Sebenarnya, Hiro sama terkejutnya dengan Lilura. Ia baru tahu kalau kekuatannya bisa digunakan dengan spontan. Seiring dengan kejatuhannya, Hiro berhasil meraih tangan Lilura. Sebelum tubuh keduanya bertabrakan, Hiro dapat melihat perubahan iris mata Lilura dari merah menjadi cokelat hazel.

BRUK!

Hiro tidak begitu merasakan sakit. Ia mendarat tepat di atas tubuh lawannya. Buru-buru ia bangkit dari posisi itu. Dengan napas terengah-engah, Hiro menatap tubuh Lilura yang terbaring. Anak perempuan itu sudah tak sadarkan diri.

Fisik Lilura sudah berubah. Tiada lagi pendar dari api di sekujur tubuhnya. Ekspresi wajahnya pun damai, rasanya seperti peristiwa barusan itu hanya angin lalu. Meskipun begitu, Hiro tetap menatapnya dengan kengerian.

Hiro benci perempuan itu. Ia benci sekali. Baginya, Lilura adalah perwujudan semua hal yang menyebabkan hidupnya menjadi neraka.

∆∆∆ 

Netha's Note: Hey! Ini karya baruku setelah 3 tahun lamanya jadi terima kasih sudah membaca! ^•^

Sebenarnya aku sedang sibuk sebagai anak kelas 12 tapi tetap akan kuusahakan untuk terus update cerita ini. Doakan saja lancar ya. :)

EvanescentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang