Trigger Warning: Domestic Abuse (Terdapat adegan kekerasan yang cukup eksplisit di bab ini, tolong baca dengan bijak ya ^^)
"Kak, apa aku boleh main keluar lagi?"
Hiro melirik sekilas ke arah adiknya, Seira yang sedang melihat dunia luar lewat jendela. Pandangannya pun kembali mengarah ke buah apel yang sedang ia kupas. Sambil menatap apel dengan fokus, Hiro menjawab, "Kalau dokter bilang boleh ya boleh."
Seira terlihat cemberut menanggapi jawaban kakaknya itu. "Tapi aku ingin mengunjungi taman supaya bisa bertemu dengan tanaman-tanaman di sana!"
"Yah, kalau begitu kau harus makan apel ini. Bagaimana?" tawar Hiro yang sudah selesai mengupas sekaligus memotong apel menjadi bagian-bagian kecil. Lelaki berusia sebelas tahun itu dengan hati-hati memindahkan pisau ke meja kayu kecil di samping ranjang adiknya sebelum menyodorkan piring berisi potongan-potongan apel.
Seira menatap piring yang disodorkan Hiro dengan sangsi, "Tapi setelah ini pergi ke taman?"
"Jika dokter membolehkan," jawab Hiro yang menegaskan kembali pernyataannya.
Ekspresi masam Seira belum pudar. Diambilnya satu potong apel dari piring sebelum membalas, "Dokter bilang aku harus di sini sampai lusa."
"Maka itulah yang harus kau lakukan," ucap Hiro dengan wajah puas. Anak lelaki itu pun menaruh piring penuh potongan apel di pangkuannya. Hiro mengambil sepotong, lalu memakannya.
Setelah cukup lama saling asyik memakan apel, Seira kembali membuka obrolan. "Kak, terakhir kali aku pergi ke taman, aku bertemu dengan seorang nenek lho!"
Hiro yang masih mengunyah hanya menanggapi ocehan Seira dengan mengangkat kedua alisnya. Seira dengan semangat yang meningkat memutuskan untuk menegakkan punggungnya dalam posisi duduk. Matanya terlihat berbinar-binar.
"Nenek itu suka dengan kemampuan khususku, Kak! Katanya, pohon-pohon jadi semakin hijau ketika aku berada di sekitar mereka. Bukankah itu bagus?"
Hiro mengangguk setuju. "Tentu itu hal yang bagus. Kau membuat pohon-pohon semakin hijau setiap saat."
"Tapi ingat," lanjut Hiro seraya menatap adik perempuannya itu lekat-lekat. "Membagikan energi dengan tanaman tidak boleh terlalu lama lho!"
Senyum Seira melebar. Ia mengangguk-angguk dengan ceria. "Pasti! Ibu akan bangga denganku 'kan, Kakak?"
Hiro tersenyum tipis menanggapinya. Tangan kanannya ia usapkan ke atas kepala Seira. "Itu sudah pasti."
"Oh iya, Kak," ujar Seira yang teringat sesuatu. Ia merogoh-rogoh kantung celananya, berusaha mengambil suatu benda di sana.
"Nah, ini dia!"
Seira memperlihatkan kotak kayu kecil yang diambilnya dari kantung celana. Dengan semangat, Seira membuka kotak kayu itu tanpa aba-aba. "Bagaimana? Bagus tidak?"
Hiro membelalakkan matanya saat melihat benda kecil yang ada di dalam kotak tersebut. Ia menatap Seira dengan sedikit panik. "Kau dapat dari mana anting seperti itu? Bukankah harganya mahal?"
Seira mengambil satu buah anting berbandul batu giok hijau berbentuk tetesan air kecil dari kotaknya. Batu giok itu terpasang dalam balutan emas kuning. Sudah pasti harga benda itu tidak murah.
"Nenek yang tadi memberikannya padaku, Kak. Katanya dulu nenek itu sempat bertemu orang dengan kemampuan khusus sepertiku tapi tidak pernah kesampaian memberikannya kenang-kenangan. Jadi nenek kasih aku anting ini," jawab Seira polos. Jelas anak perempuan berumur delapan yang jarang ke luar rumah belum paham apa-apa mengenai harga barang seperti anting itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Evanescent
FantastikLilura pergi ke Cleon untuk mengikuti Festival Apollinaris sekaligus kabur dari pekerjaannya. Sialnya, di tengah jalan ia malah bertemu dengan mantan rekan yang mengkhianatinya, Hiro. Rencananya semakin kacau saat Badan Pengawas Kemampuan Khusus ber...