2. Bunda Meta

139 66 47
                                    









Sebenarnya apa gunanya manusia hidup?. Untuk makan, minum, atau main?. Itu jawavan bodoh yang selalu Hydra jawab ketika ada orang yang menanyainya.

Tapi tidak salah juga menurutnya, beberapa orang memang hanya makan, minum, dan main saja yang mereka lakukan. Mereka bersenang-senang bukan.

Itu impian Hydra.

Tapi sayangnya tidak pernah terjadi.

Selalu saja banyak hal yang memyusahkannya dalam dirinya.

Seperti halnya teman-temannya yang selalu saja menyuruhnya melakukan kencan buta, atau mungkin mencomblangkannya dengan anak jurusan lain, itu hal bodoh oke.

Seperti halnya sekarang. Mereka (lebih tepatnya hanya 2 orang ) sedang kumpul di salah satu kafe dengan interior klasik yang menenangkan. Ditemani dengan beberapa rak buku yang menjulang tinggi di dalam cafe tersebut.

Ini menyenangkan.

"Hydra". Yang dipanggil hanya berdehem kecil hampir tak terdengar.

"Lo, nembak perusahaan mana setelah lulus?

"Belum ada"

Naya, memutar bola matanya kesal. Selalu saja seperti ini. Gadis itu benar-benar tidak peduli dengan dirinya sendiri.

"Ayolah Dra, sebentar lagi kita lulus loh".

"Nggak ada yang bilang kita bakal netap terus Nay".

Naya belum katakan ya? Gadis itu menyebalkan.

****

Harusnya sepulang dari cafe tadi, gadis itu hanya akan langsung pulang.

Tapi, sepertinya harus ia urungkan sekarang setelah melihat mobil pajero hitam dengan satu stiker barbie the secret door yang terletak persis di samping kanan plat mobil tersebut sedang terparkir di depan rumahnya.

Menghembuskan nafasnya kesal, gadis itu berbelok, ia sepertinya akan jadi gembel lagi malam ini.

Ya, seperti hari-hari kemarin.

Berjalan pelan dengan headset yang menyumpal dikedua telingannya. Gadis itu tidak menyadari sepasang mata yang sudah menangkap basah gadis itu berbelok sebelum ia sampai ke rumahnya sendiri.

Ia ingin menghampiri, tapi ia takut karena sepertinya luka gadis itu masih belum kering untuk kembali ia torehkan kembali.

****

Seperti hari-hari sebelumnya yang sudah ia katakan tadi, Hydra berjalan santai memasuki apatemen yang sudah ia gunakan beberapa bulan terakhir ini.

Ini salah satu tempat yang terlalu banyak menorehkan luka di hatinya tapi selalu saja jadi tempat ia pulang.

Karena mungkin pada hakikat manusia sesungguhnya memang seperti itu, mereka terlalu sayang sampai lupa kalau yang mereka sayangi itu sudah banyak meninggalkan luka untuk mereka.

Berjalan tenang menghampiri satu per satu foto yang terpajang di atas rak, gadis itu mengelusnya lama, menganalisis setiap momen yang terdapat di foto tersebut.

Sudah sekitar satu tahun lebih duniannya berjalan sangat datar. Tak ada makan malam bersama, tak ada makan spesial karena ia ulang tahun, tak ada lagi semuanya.

Tak ada.

Menghembuskan nafasnya lagi, gadis itu meletakkan kembali foto yang diusapnya tadi secara perlahan. Seolah-olah jika benda itu diletakkan secara acak benda itu akan segera pecah.

Tapi tak apa, orang spesial akan selalu diperlakukan spesial bukan.

Berjalan lagi ke sofa yang selalu ia tempati tidur, gadis itu mendudukkan dirinya, udara malam ini terasa sangat dingin untuk tubuhnya yang hanya menggunakan seragam sekolah.

Membuka sepatunya juga kaos kakinya, gadis itu membaringkan tubuhnya. Matanya menatap plafon apartemennya, tidak lama, hanya beberapa menit sebelum ia benar-benar terlelap dalam tidurnya.

***

Sekarang sekitar jam delapan lewat dua menit lebih, Hydra belum sedikitpun bergerak dari tempat tidurnya.

Gadis itu begitu kecapean.

Sinar matahari mengintip secara terang-terangan di ventilasi jendela yang terbuka. Burung-burung juga sudah mengicaukan suranya sejak tadi. Suara klakson motor dan mobil yang saling menyaut juga terdengar keras dari bawah sana, tidak mau kalah.

Tetap saja gadis itu tidak bangun.

Hingga suara dering telepon yang terdengar nyaring yang entah sudah ke-berapa kalinya berbunyi pagi ini membangunkan gadis itu.

Hydra duduk, berusaha menetralisir cahaya terang yang tiba-tiba masuk ke penglihatannya.

Menenangkan dirinya sebentar, gadis itu mengambil handphonenya yang masih berbunyi, berusaha melihat kontak nama yang menghubunginya pagi pagi begini.

Tapi sayangnya penelpon itu tidak pernah Hydra simpan nomornya di handphonenya. Terbukti dari layar handphonenya yang menampilkan nomor tidak dikenal.

Berdecak sebal, ia memencet tombol hijau tanda ia menerima panggilan tersebut.

"Halo". Satu kali, tak ada sautan.

"Halo". Dua kali, tak ada sautan juga.

"Halo, kalau cuma iseng liat waktu dong". Itu seruan keputus-asaan yang terdengar jelas.

"Tunggu". Hydra berdecak kembali, akhirnya orang ini berbicara.

"Maaf, kalau boleh tahu ini dengan siapa ya?".

Diseberang sana, seseorang yang tepat menelpon di ponsal Hydra, menarik nafasnya dalam-dalam. Hampir satu tahun lebih waktu berlalu begitu cepat.

"Ini dengan nak Hydra?". Alis gadis tersebut mengkerut, suara ini sepertinya terdengar familiar.

"Iya, saya sendiri?. Kalau boleh tahu ini dengan siapa ya?. Itu pertanyaan kedua oke. Penelpon ini menyebalkan.

Hening sesaat. Penelpon itu maupun Hydra sama-sama enggan mengeluarkan suaranya.

"Ini dengan bunda Meta nak". Ah, wanita paru baya itu sekarang mengetahui nomor teleponnya.

Hydra menghebuskan nafasnya kecil. Berusaha menetralisir hatinya yang sekarang berdetak dua kali lebih cepat.

Ia harus bisa berpikir logis sekarang. Hanya akan ada dua opsi yang begitu sederhana. Satu, ia akan kembali menelpon bersama orang yang  katanya bunda Meta ini. Lalu dua, ia akan memutuskan telepon ini sepihak.

Maka dengan hati yang begitu yakin, Hydra memilih opsi nomor dua. Terdengar bunyi bip yang terdengar nyaring setelah Hydra memutuskan telpon itu secara sepihak.

Ini pilihan yang cukup baik.

Semoga.

BACATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang